Pildek (FK Unair), Minus Demokrasi

ILUSTRASI Pildek (FK Unair), Minus Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pilot yang mampu membawa pesawat FK Unair terbang di tengah arus turbulensi dan sukses sampai ke tujuan jelas hanya pilot yang betul-betul terampil, visioner, menguasai medan, sangat mengenal peta arus turbulensi itu.
Untuk mendapat kandidat terbaik sesuai dengan tantangan zaman, merit system tidak bisa ditawar lagi, taruhannya terlalu besar.
Iptek di bidang kedokteran adalah hal yang universal, boleh dimiliki semua umat manusia. Syaratnya, ada akses, ada sarana, dan tentu kecukupan dana. Pengetahuan dan teknologi bukan benda yang statis.
Dia terus berinteraksi dengan lingkungan dan kekuatan otak manusia yang tak berbatas. Terus bergerak dinamis mengikuti kebutuhan, perkembangan, dan perubahan zaman. Di era disrupsi, kecepatan perubahan tak terbayangkan tidak bisa diprediksi, real time.
Namun, pola perubahannya tetap mengikuti kaidah knowledge cycle. Episentrum turbulensi teknologi itu ada di komunitas ilmiah global. Pertukaran data dan informasi mutakhir itu terjadi antarpakar dalam komunitas ilmiah global.
Tanpa berada di dalam komunitas global, kita hanya jadi penonton, tetap sebagai knowledge consumer, terus didikte knowledge producer. Selama ini standar pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia tidak sama dengan standar pendidikan global.
Ijazah dokter kita tidak diakui internasional sehingga akses ke ruang ilmiah dan lapangan kerja global tidak sepenuhnya terbuka. Itulah yang menjadi penyebab kita tertinggal jauh dari negeri jiran.
Untuk mengejar tech gap, jelas syarat spesifik yang mutlak dibutuhkan untuk dekan baru FK Unair adalah sosok yang mampu membawa FK Unair masuk ke dalam ruang ilmiah dan professional global.
Cadek wajib mempunyai akses, diterima, reputasinya dikenal, dan berperan di komunitas ilmiah internasional. Itulah yang seharusnya menjadi kriteria utama pildek FK Unair atau FK Unair akan tetap terisolasi di luar arena global.
Kinerja dan capaian sang dekan baru tentu tidak lepas dari konstelasi dunia kesehatan dan dunia pendidikan secara keseluruhan di negeri ini. Dekan baru FK Unair hadir saat sektor kesehatan dan pendidikan di negeri ini tidak baik-baik saja. Kepercayaan adalah dasar utama dari semua upaya kesehatan.
Konflik berkepanjangan menkes dengan organisasi profesi, blaming di depan publik, framing buruk profesi dokter yang terus-menerus, mosi tidak percaya Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia kepada menkes, heboh kolegium baru, semua itu telah menjadi rahasia umum.
Sulit meraih trust publik bila masyarakat terus dihujani berita negatif tentang persoalan dokter di negeri ini. Siapa pun dekan baru FK Unair yang terpilih harus paham masalah serius di atas.
Sejatinya, pendidikan adalah ”produk sistem”. Kerja bareng yang sistematis terarah, terukur, dan integrated dari semua unsur dalam sistem adalah suatu kemutlakan. Sistem yang baik tidak mungkin terbangun tanpa mutual trust dan mutual respect di internal sistem.
Konflik yang tidak berkesudahan para elite dunia medis dengan Kemenkes pertanda bahwa sistem belum terbangun. Namun, presiden telah memutuskan membuka pendidikan dokter dan dokter spesialis secara masif, 148 prodi di 57 FK di seluruh Indonesia.
Terdiri atas 125 prodi spesialis, 23 prodi subspesialis. Target presiden membuka 300 fakultas kedokteran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: