Pildek (FK Unair), Minus Demokrasi

Pildek (FK Unair), Minus Demokrasi

ILUSTRASI Pildek (FK Unair), Minus Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Alasannya, tenaga dokter dan dokter spesialis sangat kurang. Tetapi, ada hal lain yang amat kontradiktif, pada saat yang sama, presiden mengundang investor kesehatan asing ramai-ramai masuk negeri ini. Alasan mencegah 200 triliun devisa lari ke luar negeri. 

Menkes pun menegaskan, Kementerian Kesehatan diharapkan memberikan kontribusi untuk mencapai target 8 persen pertumbuhan ekonomi pada 2029. Tampaknya itu beban baru Kemenkes di luar perintah UU. 

Berbagai kebijakan pemerintah di atas tentu akan mengundang banyak pertanyaan. Semua meraba-raba ke mana peta layanan medis di bumi pertiwi ini akan dibawa pemerintah? Dokter spesialis seperti apa yang dibutuhkan untuk memenuhi berbagai rencana pemerintah di atas?

Tentang pendidikan dokter, saya terkenang pesan Prof Budi Darma (alm). ”Dokter adalah profesi mulia, tapi dia bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. Kemuliaan itu soal hati. Jadi, yang menjadi dokter itu adalah hatinya, bukan kepandaiannya saja. 

Berbuat baik dan hasrat untuk memberi yang terbaik itu lahir dari panggilan hati (heart), bukan soal ketangkasan berpikir dan keterampilan semata.” 

Tentu kita semua bertanya, apakah calon dokter dan dokter spesialis program produksi massal itu telah melalui seleksi psikologis yang ketat, detail, dan saksama? Apakah dasar-dasar etika yang baik telah tertanam di hati mereka? 

Apakah mereka telah menguasai pengetahuan-teknologi terkini? Ada kecemasan di hati, bagaimana sepak terjang dan perilaku para dokter dan dokter spesialis baru hasil produksi massal itu nanti? 

Bagaimana kesiapan dokter dan dokter spesialis baru produksi massal menghadapi zaman baru yang sama sekali berbeda dan dipenuhi teknologi baru supercanggih nanti? ”Today’s solution is tomorrow’s problem,” pesan Joshua Spodek … sungguh terasa seakan bom waktu menanti di depan.

Bagaimana solusinya? Mungkin pidato Lee Kuan Yew di awal pemerintahannya dulu layak kita renungkan. 

”Walaupun secara geografis Singapura hanya satu titik yang tidak ada artinya di bumi ini, saya yakin negara kita akan menjadi negara besar dan dihormati dunia. Syaratnya, pertama, rasa cinta pada tanah air kita Singapura. Mari kita jaga negeri ini sebaik-baiknya agar suasana negeri ini kondusif untuk membangun. Kedua, pemerintahan yang bersih bebas korupsi dan kecurangan. Ketiga, rakyat Singapura harus fasih berbahasa Inggris, bahasa dunia. Keempat, prinsip meritokrasi harus benar-benar dijalankan. Semua warga Singapura mempunyai hak yang sama untuk membangun kariernya dan memimpin sesuai kemampuannya. Jalankan prinsip meritokrasi sebaik-baiknya. Kita didik warga Singapura untuk menjadi profesional yang terbaik dan pemimpin terbaik. Reputasi dan prestasi adalah satu-satunya ukuran yang kita pakai, tidak boleh ada unsur lain yang mengotori: nepotisme, kolusi, kepentingan golongan, primordialisme. Bangsa Singapura lebih membutuhkan disiplin ketimbang demokrasi.” 

Pesan Lee Kuan Yew itu tampaknya masih relevan dijadikan pegangan untuk membangun Unair, bahkan mungkin membangun negeri ini. Sejarah membuktikan, demokrasi tidak membawa kemakmuran dan keadilan di negeri ini ... negeri ini terus terpuruk. 

Sementara itu, pada usia 10 tahun lebih muda, Singapura telah menjadi negara termakmur dan terkaya, bangsa terpandai dan tersehat di dunia. 

Teringat pesan Drucker, tidak ada negara miskin, yang ada hanyalah negara yang salah urus.

FK Unair mempunyai sejarah panjang, lebih tua daripada usia republik ini, 112 tahun. Saat saya masuk FK Unair tahun 1969, 59 tahun lalu, FK Unair satu-satunya FK di Surabaya. 

Dahulu sektor pendidikan dan kesehatan dipandang sebagai bagian dari tugas negara untuk menyehatkan dan memintarkan bangsanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: