Reformasi atau Eksperimen Politik?: Albania Tunjuk Menteri AI

Reformasi atau Eksperimen Politik?: Albania Tunjuk Menteri AI

ILUSTRASI Reformasi atau Eksperimen Politik?: Albania Tunjuk Menteri AI.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kritikus menekankan perlunya audit independen terhadap algoritma dan data yang digunakan. AI hanya sebaik input yang diberikan. Bila data bermasalah, hasilnya pun rawan bias. Risiko ”automation bias” –yakni, pejabat terlalu percaya kepada output mesin– juga patut diwaspadai (Schneider dos Santos et al., EPJ Data Science, 2025).

BACA JUGA:Kapolri Terlama di Era Reformasi

BACA JUGA:Wanita dalam Balutan Reformasi Arab Saudi

AI memang terbukti mampu mendeteksi anomali dalam harga tender atau pola pemenang yang mencurigakan. Namun, tanpa mekanisme pengawasan manusia yang kuat, keunggulan teknologi itu dapat berubah menjadi kelemahan.

SIMBOL POLITIK MENUJU UNI EROPA

Langkah Edi Rama juga jelas bermuatan politik. Sejak lama, Uni Eropa menekankan perang melawan korupsi sebagai prasyarat utama keanggotaan. Dengan populasi 2,8 juta jiwa, Albania bercita-cita menjadi anggota penuh Uni Eropa pada 2030.

Dalam konteks itu, penunjukan Diella bukan hanya eksperimen teknologi, melainkan juga simbol keseriusan politik. Rama ingin menunjukkan kepada Brussel bahwa negaranya siap meninggalkan praktik lama yang sarat penyimpangan.

Pengalaman sebelumnya mendukung kesan eksentrik Rama. Sebagai wali kota Tirana, ia terkenal mengubah wajah kota dengan warna-warna cerah pada bangunan kusam. 

Itu sebuah langkah estetis yang dianggap nyeleneh, tetapi juga efektif mengubah citra publik. Kini, di tingkat nasional, ia kembali menempuh jalan berbeda: menunjuk AI sebagai menteri.

PELAJARAN BAGI INDONESIA

Bagi Indonesia, eksperimen Albania itu menawarkan refleksi penting. Sistem pengadaan berbasis elektronik (e-procurement) memang sudah diterapkan. Namun, laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan praktik manipulasi tender masih sering terjadi. Mulai vendor titipan hingga pola pemenang berulang.

Studi di Engineering Proceedings (2025) menunjukkan bahwa AI dapat menghitung estimasi harga tender dengan presisi lebih tinggi daripada perhitungan manual. 

Potensi itu bisa dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan transparansi. Namun, AI sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu deteksi dini, bukan pengambil keputusan akhir.

Akuntabilitas harus tetap berada di tangan pejabat publik manusia. Sebab, pada akhirnya, hanya manusia yang bisa dimintai tanggung jawab hukum maupun moral.

TEKNOLOGI BUKAN OBAT SEGALANYA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: