Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional

Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional

ILUSTRASI Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KONGRES Pemuda Indonesia lebih populer diketahui dalam frasa Sumpah Pemuda. Dikenang oleh banyak orang sebagai pencapaian luar biasa perjuangan menetapkan jati diri bangsa Indonesia. Kongres pemuda pertama tahun 1926 tidak menghasilkan keputusan penting. Kongres kedua pada 28 Oktober 1928 berhasil mengikrarkan persatuan. Satu di antara tiga ikrar adalah bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Kita mungkin pernah bertanya-tanya, mengapa rezim kolonial tidak menetapkan bahasa Belanda sebagai bahasa pemersatu antarsuku? Atau, menggunakan satu di antara banyak bahasa etnik yang paling dominan di Nusantara?

Argumentasi dari sudut pandang sosiolinguistik-historis begini: bahasa Belanda adalah bahasa eksklusif alias hanya digunakan orang Belanda dan minoritas bumiputra terdidik yang excellent

Pembatasan meluasnya bahasa Belanda disengaja supaya prestise Belanda tetap terjaga. Pembatasan bahasa, artinya, pemerintah Belanda tidak mengajarkan dan memaksa penduduk agar mampu berbahasa Belanda. 

Itulah yang mengakibatkan rakyat jajahan Belanda tidak mengenal bahasa Belanda. Itu merupakan politik bahasa pemerintah kolonial yang membiarkan masyarakat dengan bahasanya masing-masing. 

Kebijakan bahasa rezim kolonial memang mengarah pada eksklusivisme. Hal itu berbeda dengan politik bahasa model penjajahan Portugis, Spanyol, dan Inggris yang memaksakan bahasa penjajah terhadap rakyat jajahan.

Alternatif lain, bahasa nasional diambil dari bahasa suku bangsa yang paling banyak digunakan penduduk. Hal itu pernah diupayakan kelompok pergerakan, tentu sebelum bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928. 

Kelompok pergerakan memfokuskan gerakan bahasa yang bertujuan mencari dan menemukan bahasa nasional. Gerakan itu menarik perhatian karena upaya mereka mengangkat bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa nasional meski memunculkan polemik di masyarakat. 

Benedict R.O’G. Anderson, dalam Kuasa-Kata, Jejak Budaya-Budaya Politik di Indonesia, juga membayangkan seandainya Belanda tidak melakukan ekspansi seluas-luasnya ke pelosok Nusantara pada 1830 hingga 1910, kekuasaan Belanda hanya berkutat di Jawa, maka bahasa Jawa menjadi bahasa nasional dari negara Jawa. 

Meski kenyataannya bahasa Jawa tidak menjadi bahasa nasional, patut dicatat, ada gerakan bahasa mencari format bahasa nasional sebelum ikrar bahasa persatuan di Sumpah Pemuda. 

Nama gerakan bahasa yang dimaksud adalah gerakan Jawa ngoko yang dikoordinasi oleh organisasi Djawa Dipa. Dibentuk dan digelorakan di Kota Surabaya pada tahun 1917, tetapi meredup dan pupus pada tahun 1923. 

Gerakan itu bertujuan menyalakan semangat egalitarianisme, demokratisasi bahasa, perilaku, dan menempatkan posisi setara antar berbagai suku bangsa. Pada awalnya, Djawa Dipa dinilai sebagai organisasi etnik kedaerahan. 

Setelah dua tahun berkembang, keputusan yang disepakati adalah memperluas gerakan tidak hanya mencakup Jawa, tetapi juga melintas Nusantara. 

Setiap daerah dengan kekhasan etnik masing-masing diupayakan membentuk gerakan yang sama, seperti Sunda Dipa, Madura Dipa, Sumatra Dipa, Borneo Dipa, Celebes Dipa, dan lain-lain daerah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: