Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional

Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional

ILUSTRASI Sumpah Pemuda dan Kisah Lain Mencari Format Bahasa Nasional.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Tujuan pokok setiap Dipa adalah meneguhkan bahasa asli dan menguatkan adat-istiadat yang berkembang di daerah itu. Gerakan tersebut memungkinkan diperluas seiring dengan afiliasi Djawa Dipa bersama Sarekat Islam yang telah memiliki cabang-cabang di luar Jawa. 

Setiap Dipa diintegrasikan dalam perserikatan besar yang disebut Hindia Dipa mencakup seluruh Nusantara. Istilah dipa berbeda dengan dwipa (Sanskerta, berarti pulau), tetapi berasal dari adji dipa: adji berarti mantra sakti dan dipa (Sanskerta) berarti cahaya. 

Sifat dari cahaya adalah menerangi objek yang dituju, maka Djawa Dipa berarti menerangi Jawa, Sumatra Dipa berarti menerangi Sumatra, dan seterusnya

Djawa Dipa menjadi salah satu perintis gagasan ke-Indonesia-an yang memulai gerakannya melalui bahasa Jawa ngoko dan egalitarianisme. Masyarakat Jawa secara sosiolinguistik menguasai bahasa Jawa jika dibandingkan dengan bahasa Melayu, demikian juga etnik-etnik lain. 

Apabila ditelusur akar inspirasi gerakan bahasa dapat dihubungkan dengan gerakan Samin Surontiko (1890–1914). 

Gerakan Samin sesungguhnya tidak hanya pembangkangan sipil melawan negara dengan cara tidak patuh pada regulasi, tetapi juga melawan tatanan sosial feodal melalui penggunaan bahasa Jawa ngoko pada semua orang dan perjuangan kesederajatan sosial. 

Berbicara dengan bahasa Jawa ngoko tanpa memandang status sosial lawan bicara dinilai tingkah laku yang paling menjengkelkan dan membangkitkan amarah pejabat maupun sesama orang Jawa berstatus priayi. 

Djawa Dipa mencoba meneruskan perjuangan itu setelah Samin Surontiko ditangkap yang mengakibatkan melemahnya gerakan. Selain itu, Djawa Dipa menganjurkan semua orang tidak lagi melakukan sembah-jongkok kepada pejabat apa pun tingkatannya. 

Kebiasaan menghadap orang berstatus tinggi dengan sembah-jongkok adalah merendahkan derajat kemanusiaan. Bahasa Jawa alus dan sembah-jongkok nyatanya wujud kegilaan penghormatan yang ingin diraih pejabat-pejabat tinggi sampai rendah dan priayi-priayi. 

Jabatan, kekuasaan, dan penghormatan berpotensi membutakan kepekaan sosial kemanusiaan. Tersirat dalam karya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, jabatan adalah segalanya, demi jabatan: harta boleh hilang, nama diri boleh rusak, keluarga pun boleh retak, jabatan harus selamat dan diselamatkan.

Anjuran berbahasa Jawa ngoko dan menolak sembah-jongkok yang dipraktikkan dalam gerakan Djawa Dipa setidaknya berhasil mewacanakan format bahasa nasional, demokratisasi bahasa, kesetaraan bahasa, dan tatanan perilaku feodal. 

Sembah-jongkok sebagai representasi perilaku feodal berhasil dihapus, namun kegilaan orang atas jabatan masih tetap bercokol. 

Mungkin orang berpikir: semua yang telah hilang, rusak, retak dapat dipulihkan dengan jabatan yang dapat diselamatkan, seperti yang tersirat di karya Pramoedya Ananta Toer. 

Sementara itu, tantangan atau problematika bahasa saat ini adalah perubahan zaman mulai menggerus bahasa Jawa. Orang Jawa lebih fasih dengan bahasa Jawa ngoko daripada kromo dan yang lebih tragis, (tak) sengaja mencampakkan warisan aksara. Hal itu mungkin juga sedang dialami oleh etnik-etnik lain yang memiliki aksara.

Djawa Dipa adalah kisah lain mencari format bahasa nasional yang secara umum mengamanatkan carilah jalan menjaga, menguatkan, mengembangkan kebudayaan nasional. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: