Surabaya Butuh Anggaran Transum Lebih Besar, Bisa Tiru Semarang dan Jakarta
Kepadatan lalu lintas kendaraan di Jalan Ahmad Yani arah ke Kota Surabaya, Jumat, 31 Oktober 2025. Ruas jalan tersebut menjadi salah satu titik paling macet di Kota Pahlawan.-Boy Slamet-Harian Disway -
HARIAN DISWAY - Kemacetan masih menjadi persoalan klasik di Kota Surabaya. Memang sudah ada transportasi umum (transum) seperti Suroboyo Bus, Trans Semanggi Suroboyo, hingga feeder Warawiri Suroboyo. Tetapi, tak kunjung bisa menjadi solusi.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Achmad Nurdjayanto berkata, mau ada penambahan satu rute baru untuk Suroboyo Bus tahun depan. Tapi, lokasinya masih akan dikaji lagi.
“Mungkin di sekitar Surabaya Barat, tapi mungkin juga pindah ke kawasan Timur, karena masih kurang juga,” terang Achmad.
BACA JUGA:Eri Minta Warga Laporkan Sopir Suroboyo Bus yang Ugal-ugalan
BACA JUGA:Sudah Saatnya Suroboyo Bus Punya Jalur Khusus
Ya, Pemerintah Kota Surabaya tak punya terobosan baru. Tidak ada kebijakan yang signifikan. Yang dilakukan hanya tambal-sulam. Pemkot masih belum serius.
“Kalau mau serius, harus ada paradigma baru. Kalau tidak, macet akan terus memburuk dan transum terus tertinggal,” ujar Tugas Hutomo Putra, perwakilan komunitas Transportasi for Surabaya (TFS).
Di Surabaya, masih menggunakan model lawas dengan membeli bus, beli armada, dan mengelola sendiri. “Akibatnya, anggaran cepat habis. Armada sedikit. Perawatan terbatas. Bus panas, AC rusak, pintu sulit ditutup. Saya merasakan itu sendiri,” kata Tugas.
Tugas juga menggarisbawahi bahwa anggaran transportasi umum di Surabaya terlalu kecil. “Tidak sampai satu persen dari APBD. Bandingkan dengan kota lain yang minimal 5–10 persen. Tanpa mandatory spending, tidak akan pernah maju,” jelasnya.
BACA JUGA:Penumpang Suroboyo Bus Tembus 1,9 Juta, Desember Catat Rekor Penumpang Terbanyak
BACA JUGA:Malam Tahun Baru, Operasi Suroboyo Bus Dibatasi
Pakar transportasi Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Machsus menilai penambahan satu rute itu sangat kurang. Tidak bisa memenuhi kebutuhan mobilitas warga. Harusnya bisa mengadopsi kebijakan-kebijakan di kota besar lainnya.
Di Semarang, misalnya, layanan sudah menjangkau hampir semua area kota. Di Jakarta, Jak Lingko bisa ganti moda dengan tarif flat atau datar, yakni Rp5.000 sepanjang hari. “Di Surabaya? Harus pindah-pindah, bayar lagi, waktu tempuh lama,” lanjut Machsus.
Menurutnya, akar masalah terdapat pada sistem pengelolaan. Di Semarang, pemkot tidak perlu beli bus. Mereka beli layanan (by the service). Pihak ketiga yang menyiapkan armada, operator, dan mematuhi standar pelayanan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: