Sirkulasi Kepemimpinan, Kunci Demokrasi Naik Kelas

Sirkulasi Kepemimpinan, Kunci Demokrasi Naik Kelas

ILUSTRASI Sirkulasi Kepemimpinan, Kunci Demokrasi Naik Kelas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Anggota DPRD kabupaten/kota yang telah menempuh beberapa periode dapat diberi kesempatan ”naik kelas” ke DPRD provinsi. 

BACA JUGA:Demokrasi Apartheid dan Judicial Overhaul ala Benjamin Netanyahu

BACA JUGA:Hantu Demokrasi atau Pemulihan Ekonomi

Dari provinsi, kader yang kompeten dapat melangkah ke DPR RI. Politisi senior yang telah menempuh beberapa periode di DPR RI dapat bertransformasi menjadi negarawan, membimbing generasi berikutnya. 

Dengan mekanisme itu, pengalaman politik tidak hilang, tetapi diwariskan secara sistematis.

Keserumpunan antara kompetensi pendidikan, pengalaman, dan integritas menjadi faktor kunci agar legislasi berkualitas, pengawasan efektif, dan perencanaan anggaran strategis dapat terwujud. 

Partai politik perlu memastikan bahwa proses seleksi calon legislator menekankan kombinasi kapasitas akademik, pengalaman praktis, dan komitmen terhadap pelayanan publik. 

Hal itu memungkinkan parlemen menjadi ruang pengambilan keputusan yang matang, berpihak kepada kepentingan rakyat, sekaligus menyiapkan generasi pemimpin yang siap menghadapi tantangan jangka panjang.

Selain itu, budaya mentoring antaranggota legislatif perlu diperkuat. Senior yang membimbing kader muda melalui pengalaman legislatif, diplomasi politik, dan manajemen hubungan konstituen akan memperkuat kapasitas individu sekaligus institusi. 

Dengan pola itu, generasi baru belajar dari pengalaman nyata, sementara senior memastikan nilai-nilai profesionalisme dan integritas tetap dijaga.

Sirkulasi kepemimpinan yang terencana menjadikan parlemen lebih dinamis. Energi baru dari kader muda berpadu dengan pengalaman senior, memperkuat kualitas demokrasi. 

Proses itu memungkinkan lembaga legislatif tetap responsif terhadap aspirasi rakyat, sekaligus menjaga kesinambungan kebijakan strategis. 

Demokrasi bukan hanya soal pemilu rutin, melainkan tentang kemampuan lembaga untuk terus beradaptasi, belajar, dan menyiapkan pemimpin masa depan.

Dengan pola regenerasi seperti itu, demokrasi menjadi lebih hidup, terbuka, dan berkelanjutan. Wajah baru membawa perspektif segar, sementara pengalaman lama tetap menjadi panduan. 

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat tidak hanya diukur dari frekuensi pemilu, tetapi dari kemampuan legislatif untuk menanggapi perubahan sosial, menyerap aspirasi rakyat, dan menghasilkan pemimpin yang kompeten serta berpihak kepada kepentingan publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: