Bedah Buku Pater Fritz Meko: Kembara Pikiran, Catatan Harian Seorang Imam Katolik

Bedah Buku Pater Fritz Meko: Kembara Pikiran, Catatan Harian Seorang Imam Katolik

PATER FRITZ MEKO, penulis buku Kembara Pikiran, menandatangani buku untuk pembacanya.-Panitia Bedah Buku Fritz Meko-

"Hidup ini termiliki. Ada yang punya," katanya. Dan siapa yang punya? Tuhan.

Pater Fritz mengemas bukunya dalam tiga bagian, seperti tiga tahap peziarahan. Menapaki Bumi, Menatap Langit, dan Wahyu Ilahi.

Pada bagian pertama, ia menyuguhkan 180 catatan refleksi yang menggambarkan warna-warni kehidupan sehari-harinya sebagai pastor.

BACA JUGA:Peluncuran Buku Seribu Gagasan Omah Ndhuwur, Hadirkan Perspektif Kritis tentang Kampung Bangunrejo

BACA JUGA:Rembugan Buku Ludruk UNESA, Lestarikan Budaya Jawa lewat Karya Sindhunata


PANITIA bedah buku Pater Fritz Meko saat memamerkan buku karya sang pastor di Universitas Katolik Widya Mandala, Jumat, 21 November 2025-Panitia bedah buku Fritz Meko-

Imam asal Kefamenanu itu mengisahkan tukang becak yang tersenyum meski kakinya penuh luka. Juga, seorang ibu yang menangis diam-diam setelah anaknya lulus sekolah. Semua itu menjadi bagian dari doa sang pastor.

Pada bagian kedua, ia menuliskan 63 catatan personal. Ia menyebut hidup sebagai peziarahan panjang, dari kandungan ibu menuju kandungan bumi.

Tiap tahapan --bayi, anak, remaja, dewasa, tua-- adalah stasiun. Dan setiap stasiun punya pesan. Pesan yang sering kali kita abaikan karena terlalu sibuk sendiri.

Pada bagian ketiga, Pater Fritz menuliskan 89 puisi dan prosa. Pada bagian ini, Pater Fritz memilih bahasa sastra sebagai alat, sebagaimana pedoman Ralph Waldo Emerson, "puisi mengajar sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin". 

BACA JUGA:UKWMS Angkat Kopi Desa Kucur Jadi Produk Premium Bertaraf Nasional

BACA JUGA:KOMINDO UKWMS Gelar Training of Trainers, Ajak Gen Z Kritis Gunakan AI

Empat narasumber membedah Kembara Pikiran sore itu. Mereka adalah Dr. RD. Aloysius Widayawan Louis, Dr. Wayan Maryanta SVD, Narudin Pituin, dan Sr. Dr. Vero Endah Wulandari.

"Ini bukan buku teologi. Ini buku kehidupan. Fritz menulis seperti seorang sastrawan yang kebetulan imam. Tapi justru karena itu, tulisannya lebih menyentuh," kata Narudin. 

Sr. Vero mengaku tersentuh dengan prosa dan puisi dalam buku itu. "Saya merasa ada kehadiran Tuhan yang tidak digemborkan, tapi dirasakan," ungkapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: