Membumihanguskan Imajinasi Kemuliaan Guru
ILUSTRASI Membumihanguskan Imajinasi Kemuliaan Guru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kondisi itu didukung oleh masyarakat kita yang sudah kadung mengimani dan mengamini bahwa guru memang sebagai jalan pengabdian yang mulia. Bukan sebagai profesi yang layak untuk dihargai secara materi.
Lantas, apa yang seharusnya dibumihanguskan dari praktik-praktik itu? Atau, memang itu adalah bagian dari merawat adat ketimuran yang luhur?
GURU ITU PEKERJAAN, TITIK
Sebagaimana pekerjaan dan profesi lainnya, menjadi guru pun salah satu isian dalam kolom pekerjaan di KTP. Justru itulah pekerjaan yang berisiko besar, taruhannya bukan lagi nyawa, melainkan nasib bangsa ke depan.
Tanpa kompromi, semua orang besar di negeri ini, ia tak lepas dari kerja-kerja seorang guru. Maka, seharusnya mereka tak bisa seenak jidat meromantisasi bahwa guru adalah bagian dari pengabdian yang cukup dibalas dengan pujian kemuliaan.
Berat memang memutuskan menjadi seorang guru. Minimal, ia harus lulus dari bangku hangat pendidikan tinggi, syukur-syukur ia bisa melalui pendidikan profesi guru. Belum lagi, ia harus membagikan dan memastikan tak ada racun dalam setiap makan siang gratis, sekalipun itu pekerjaan tambahan.
Mengharapkan kinerja baik kepada guru sama artinya dengan memastikan kelayakan upah yang mereka dapatkan setiap bulan.
BERHENTI MENGATAKAN GURU ADALAH BENTUK PENGABDIAN
Sudahi percakapan paradigma guru sebgai jalan pengabdian. Jika itu memang benar, biarlah itu tumbuh di tiap-tiap hubungan intimnya dengan Tuhan. Jangan lantas makin tumbuh subur di ruang publik dan paradigma masyarakat luas.
Pasalnya, jika itu terus-menerus dilestarikan, bukan tidak mungkin para pemangku kebijakan kian melupakan nasib guru yang makin terlunta-lunta.
Saya meminjam data yang dihimpun Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) bersama GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada 2024, ditunjukkan bahwa sekitar 42 persen guru secara umum memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan dan 13 persen di antaranya berpenghasilan di bawah Rp500 ribu per bulan.
Kondisi lebih memprihatinkan dialami guru berstatus honorer atau kontrak. Sekitar 74 persen guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan dan 20,5 persen di antaranya masih berpenghasilan di bawah Rp500 ribu. Bisa dibayangkan bagaimana usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saya mengambil permisalan, dengan gaji Rp500 ribu dalam sebulan, berarti dalam sehari gaji mereka hanya berkisar Rp16.700, pendapatan yang bahkan jauh lebih sedikit daripada tukang parkir dalam menarik tarif ke sepuluh motor.
Permisalan itu tidak bermaksud merendahkan satu pekerjaan tertentu. Namun poin utamanya jelas: guru memang bernasib nahas di negeri ini.
DUA PULUH PERSEN APBN UNTUK PENDIDIKAN, BENTAR DULU
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: