Nikah Siri: Antara Keimanan, Cinta, dan Ironi Hukum Perkawinan
Ilutrasi banyak sisi dari nikah siri.-Artificial Intelligence-
BACA JUGA:Viral! Kakek 110 Tahun Nikahi Wanita 27 Tahun di Bulukumba
Sayangnya, sebagian masyarakat menganggap pencatatan hanya formalitas administratif semata, sehingga tidak menyadari bahwa keputusan menikah siri sering kali memerangkap mereka pada ketidakpastian hukum.
Mengapa Nikah Siri Menjadi Pilihan?
Ismail Zubir dan Al Farabi (2011) mencatat bahwa minimnya literasi tentang hukum, tingginya ketergantungan terhadap sosok pemuka agama, serta persoalan biaya menjadi faktor utama nikah siri tetap diminati. Banyak pasangan memilih menikah melalui perantara tokoh agama karena merasa telah memenuhi syarat sah perkawinan secara agama dan biaya relatif terjangkau dibandingkan prosedur resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).
Selain itu, syarat administrasi, seperti surat pengantar RT/RW hingga pemeriksaan kesehatan, dipandang sebagai beban tambahan bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan akses maupun finansial.
Penelitian Heribertus Rinto Wibowo dkk. (2021) di daerah Bone, Sulawesi Selatan, mengungkapkan temuan yang cukup menggelitik sekaligus memprihatinkan. Sebanyak 25,8% orang tua dan 26% remaja percaya bahwa perempuan siap menikah setelah menstruasi. Lebih dari separuh orang tua merasa malu jika anak perempuan hamil di luar nikah, sementara sepertiga responden percaya bahwa perkawinan dini dapat menjaga kehormatan keluarga. Bahkan, lebih dari 26% responden menganggap perempuan berusia di atas 18 tahun sebagai beban keluarga.
Temuan ini menunjukkan bahwa nikah siri sering menjadi jalan pintas untuk menghindari rasa malu, menutupi kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi tekanan ekonomi, atau menyiasati hubungan yang dikhawatirkan "melanggar norma".
Persoalannya, solusi instan tersebut mengorbankan masa depan perempuan dan anak. Kondisi ini menunjukkan betapa kentalnya norma sosial yang mengaitkan perkawinan dengan kehormatan keluarga, bukan sebagai bentuk perlindungan hak. Ketika suatu keluarga lebih takut "malu" daripada mengerti risiko hukumnya, maka negara akan selalu terkesan lambat dalam memberikan perlindungannya.
Ironi: Ketika Perkawinan Dianggap Privat
Al Farabi (2011) mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat beranggapan perkawinan adalah urusan privat antara dua insan, sehingga negara tidak perlu ikut campur. Pandangan ini tampak logis secara moral dan religius. Jika dua orang mengikatkan diri dengan akad yang sah secara agama, mengapa negara harus mengatur?
Namun, pandangan ini bersifat naif karena perkawinan tidak pernah sepenuhnya berada dalam ruang privat. Ia melahirkan hubungan kekerabatan, status anak, harta bersama, hak waris, hingga konsekuensi hukum ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran, atau ketiadaan pengakuan anak.
Artinya, perkawinan ini akan bersinggungan dengan struktur hukum privat maupun publik. Dengan demikian, negara berkepentingan melindungi pihak yang rentan, khususnya perempuan dan anak-anak. Tanpa pencatatan, perempuan dan anak mudah dieksploitasi, dan sejarah membuktikan hal ini terjadi berulang.
Jika perkawinan benar-benar dianggap privat, mengapa begitu banyak konflik rumah tangga seperti perceraian, kelalaian nafkah, atau KDRT kemudian dibawa ke lembaga negara? Masyarakat kerap menyebut perkawinan "privat" hanya ketika ingin menghindari aturan, tetapi mencari peran negara ketika terjadi konflik. Pandangan bahwa pernikahan adalah urusan privat adalah ironi yang menutupi fakta bahwa tanpa negara, keadilan bagi pihak yang lemah sulit ditegakkan.
Mendorong Hukum yang Lebih Responsif
Nikah siri bukan hanya persoalan moralitas atau preferensi religius. Ia merupakan potret dari struktur sosial dan sistem hukum yang belum sepenuhnya responsif. Berbagai faktor—dari masalah ekonomi, pendidikan, agama, budaya, dan pluralisme hukum dalam masyarakat hingga persoalan tata kelola administrasi—turut mendorong suburnya praktik ini. Ironisnya, fenomena nikah siri ini justru tumbuh di tengah sistem hukum keluarga yang seharusnya semakin modern dan protektif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: