Kepahlawanan Seni Rupa 'daripada' Soeharto

Kepahlawanan Seni Rupa 'daripada' Soeharto

”JENDERAL TERSENYUM”, lukisan Dede Eri Supria tentang Presiden Soeharto. Lukisan itu digubah menjadi gambar mata uang. -Agus Dermawan T. untuk Harian Disway-

Tentu hal memikat ketika di tengah kesibukan memimpin negara, dengan konsentrasi politik, ekonomi, serta repotnya menjaga stabilitas, Pak Harto sempat menggagas berdirinya tempat untuk menyimpan cendera mata seni rupa itu. 

Tempat tersebut bernama Purna Bhakti Pertiwi. Museum yang diresmikan pada 1993 tersebut berada di depan Taman Mini Indonesia Indah, dalam bentuk bangunan berupa tumpeng. 

Yang tak kalah menarik adalah gagasannya untuk mendirikan Graha Lukisan. Itulah museum yang khusus menampung karya lukisan koleksi pribadinya, koleksi anak-anak, serta segenap menantunya. 

Gedung itu bertingkat tujuh, menjulang tinggi 41 meter. Di ssana beratus-ratus lukisan koleksi Pak Harto dan keluarganya dipajang. Museum yang ditangani Titiek Soeharto itu diresmikan pada April 1997.

Maka, seni rupa para seniman yang aktif pada masa Orde Baru ada di sana. Bahkan, ada lukisan langka novelis N.H. Dini yang merupakan hadiah dari Perdana Menteri Republik Khmer Lon Nol kepada pribadi Pak Harto. 

Tak ketinggalan lukisan Hendra Gunawan, narapidana politik yang dipenjara Pak Harto. Lukisan itu menceritakan rangkaian peristiwa Indonesia 1965–1966, sejak penggalian sumur maut Lubang Buaya sampai demo besar di Istana Presiden RI pertama. 

Tak itu saja. Di sana juga terpajang jajaran drawing Pablo Picasso dalam bentuk litografi edisi amat terbatas. Karya Picasso itu merupakan cikal bakal dari adikarya Guernica yang dicipta Picasso tahun 1937. 

Pak Harto mendapatkan benda berharga tersebut dari Raja Spanyol Juan Carlos sebagai cendera mata pribadi kepada istrinya, Tien Soeharto. Menariknya, drawing Picasso tersebut pernah ketlingsut berkurun tahun di dalam koper Ibu Tien Soeharto. Untung, Titiek Soeharto menemukannya.  

Sementera itu, Pak Harto sendiri, sejak museum tersebut dibuka sampai ia tutup usia, terbilang amat jarang datang ke sana. ”Oleh karena museum daripada seni rupa itu kami buka untuk segenap rakyat Indonesia. Dengen kata lain, museum itu bukan untuk saya,” ujarnya.

LEMBAGA SANGGAR                    

Sekali lagi, Pak Harto tidak dekat dengan seni rupa. Namun, ia ternyata bisa meletakkan sosoknya sebagai penyimpan seni rupa yang baik, bahkan sistematik. Sebagai seorang pemimpin ulung, ia memperlakukan karya-karya seni dalam tata organisasi. 

Semua diatur dalam pranata kelembagaan, dengan mendudukkan sejumlah pengurus dalam struktur, dengan pengawasan petinggi tentara. Sikap itu terlihat ketika ia menangani lukisan-lukisan di istana kepresidenan. 

Apabila Soekarno mengangkat pelukis istana (Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim) sebagai pengurus lukisan di istana, Pak Harto lewat Sekretariat Negara-Rumah Tangga Kepresidenan, mendirikan lembaga Sanggar Lukisan Istana Presiden sebagai pihak yang bertanggung jawab. 

Dalam sanggar itu ada ketua, sekretaris, kurator, pelaksana lapangan, dan sebagainya. Lewat lembaga itulah, Pak Harto memelihara benda-benda seni (yang sebagian terbesarnya merupakan peninggalan daripada Presiden Soekarno) di Istana Presiden di seluruh Indonesia. 

Hati Pak Harto termasuk amat berjarak dengan seni rupa. Siapa yang tak percaya? Tapi, Pak Harto dan segenap loyalisnya menatap seni rupa dengan mata dan pikiran intelnya, pelukis Hardi (1951–U2023) sudah lama memahami. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: