Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (2): Mustahil Hidup Penulis Cuma Ditopang Royalti

Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (2): Mustahil Hidup Penulis Cuma Ditopang Royalti

Okky Madasari dalam acara Book Party bersama para pelajar di SMA Pradita Dirgantara, Jakarta, Jumat, 25 Juli 2025. -Dok. Okky Madasari-

Berprofesi sebagai penulis di Indonesia memang nyaris mustahil dijadikan sandaran hidup. Royalti atau sumber pendapatan utamanya hanya 8–10 persen dari harga jual buku. Belum lagi PPh 15 persen. Pendapatan yang terlalu kecil untuk menutup jerih payah, apalagi diharap sebagai nafkah.

Royalti para penulis buku sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Artinya, royalti bukan bonus, tapi hak mutlak penulis. Penerbit dan penulis wajib memiliki kontrak tertulis yang mengatur pembagian keuntungan secara transparan. 

Persentase royalti para penulis memang relatif berbeda di setiap penerbit. Namun, biasanya hanya sekitar 8-10 persen dari harga jual per buku. Setiap penerbit juga punya kebijakan berbeda.

Misalnya, penerbit besar dengan jaringan distribusi luas biasanya memberikan royalti lebih kecil karena biaya promosi dan cetak tinggi. 

Royalti penulis itulah yang termasuk akan diurus dalam revisi UU Perbukuan nasional. Ketua Komisi XIII Willy Aditya prihatin dengan Royalti penulis yang masih rendah.  Ia membandingkan dengan industri global. Ada ketimpangan yang cukup jauh. 

J.K Rowling, penulis seri Harry Potter, bisa dijadikan contoh. “Tingkat kesejahteraannya tinggi. Sementara di Indonesia, tingkat royalti yang diterima penulis masih rendah,” kata politikus Partai NasDem itu dalam sebuah kesempatan.

Di Indonesia, kata Willy, Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang mendapatkan royalti tertinggi. Itu pun cuma 15 persen. Maka, ia merasa perlu segera merevisi undang-undang perbukuan. 

Terutama untuk menata kembali mekanisme yang mengatur hubungan antara penulis, penerbit, dan toko buku. “Penulis harus hidup. Toko buku harus hidup. Penerbit harus hidup,” ucapnya.

Di Amerika Serikat dan Inggris, royalti penulis untuk buku cetak umumnya minimal 15 persen dari harga jual atau 25 persen dari net untuk e-book pada penerbit besar. 

Data dari Author’s Guild di AS dan Society of Authors di Inggris menunjukkan tren bahwa penerbit besar memang menekan royalti. Tetapi angka 10–15 persen masih menjadi patokan lazim. Bahkan dengan skema naik bertahap jika penjualan melewati batas tertentu. 

Artinya, dari sisi persentase kotor Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda di atas kertas. Yang membuat kondisi penulis Indonesia jauh lebih berat adalah struktur biaya dan skala pasar. 

Pertama, harga buku relatif mahal dibanding daya beli, sehingga tiras kecil dan penjualan lambat. Kedua, royalti 8-10 persen itu dibayar berbasis eksemplar terjual, bukan tercetak, dan biasanya baru cair per 6 bulan atau per tahun. Dari royaltinya yang sudah kecil itu, penulis masih harus “disunat” pajak royalti.

Sementara itu, Okky Madasari mengaku sudah bertemu dengan Willy dan mendengar langsung darinya tentang gagasan tersebut.

Bahkan, penulis Entrok itu juga dimintai masukan terkait RUU Perbukuan saat bertemu sang legislator dalam sebuah forum di Yogyakarta.

Menurut dia, royalti adalah hubungan antara penulis dan penerbit. Dalam hal ini, pemerintah bisa membuat regulasi semacam ‘besaran minimal royalti’. “Jadi, aturan tersebut akan berlaku layaknya UMP,” ungkapnya kepada Harian Disway Sabtu, 6 Desember 2025.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: