Pengerahan Sumber Daya Pusat Tanpa Status Bencana Nasional

Pengerahan Sumber Daya Pusat Tanpa Status Bencana Nasional

ILUSTRASI Pengerahan Sumber Daya Pusat Tanpa Status Bencana Nasional.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Situasi tersebut lazim muncul ketika skala bencana menjangkau lebih dari satu kabupaten atau provinsi, ketika respons memerlukan operasi lintas matra yang simultan, darat untuk evakuasi, udara untuk distribusi logistik dan medical evacuation, dan laut untuk mobilisasi alat berat atau rumah sakit terapung atau ketika pemerintah daerah kehilangan kapasitas teknis maupun manajerial untuk menyatukan operasi TNI, Basarnas, Polri, BNPB, BPBD, dan aktor-aktor kemanusiaan. 

Dalam konteks itulah, kogasgabpad menjadi mekanisme komando terpadu yang rasional: ia menutup kekosongan koordinasi tanpa mengintervensi otonomi daerah secara formal, sekaligus menghindari fragmentasi operasi yang dapat menurunkan efektivitas respons darurat.

Keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional perlu dijelaskan bukan semata melalui logika politik, melainkan melalui pertimbangan hukum dan administrasi yang sangat konkret. 

Secara hukum, ketiadaan threshold dan kriteria operasional dalam UU 24/2007 membuat setiap penetapan status nasional berada dalam posisi rawan digugat secara administratif. 

Tanpa dasar penilaian kuantitatif yang jelas –berapa korban, berapa nilai kerugian, atau indikator apa yang menunjukkan kolapsnya kapasitas daerah– keputusan pusat dapat dianggap arbitrer dan tidak memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik. Dalam konteks ini, justru menerbitkan status bencana nasional berisiko lebih tinggi daripada tidak mengeluarkannya. 

Secara politik-administratif, penetapan status nasional memiliki implikasi simbolis dan struktural: ia menandai bahwa pemerintah daerah gagal menjalankan kewajibannya. Itu sering dipersepsikan sebagai bentuk ”punishment” terhadap daerah, terutama di provinsi yang secara historis sensitif terhadap isu otonomi. 

Selain itu, pengambilalihan komando oleh pusat berpotensi menciptakan ketegangan dengan Kementerian Dalam Negeri. Sebab, struktur tata kelola desentralisasi dirancang untuk menjaga otonomi daerah sebagai prinsip inti.

Gabungan kedua pertimbangan itu membuat keputusan untuk tidak menetapkan status nasional berfungsi sebagai cara menjaga keseimbangan desentralisasi. 

Pusat tetap dapat memobilisasi sumber daya besar melalui mekanisme alternatif seperti OMSP dan kogasgabpad, sementara kerangka otonomi daerah tetap terjaga secara formal.

Arah strategis ke depan menuntut formulasi yang pragmatis dalam kerangka hukum yang masih belum terselesaikan. 

Langkah paling efektif adalah tetap tidak menetapkan status bencana nasional demi menjaga konsistensi desentralisasi, sambil mengaktifkan kogasgabpad melalui instruksi presiden kepada panglima TNI. 

Kunci keberhasilannya terletak pada desain struktur yang inklusif –sipil, militer, dan pemerintah daerah harus berada dalam posisi kolaboratif, bukan hierarki yang didominasi salah satu aktor. 

Melalui kolaborasi tripartit itu, negara dapat mengerahkan pasukan, logistik, dan sumber daya besar secara cepat dan terorganisasi sekaligus memastikan bahwa operasi kemanusiaan berlangsung efektif dan efisien tanpa menggerus prinsip otonomi daerah. (*)

*) Farid Makruf adalah taji SKA Lemhannas RI dan mantan Dansatgas PB NTB 2018. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: