SURABAYA, HARIAN DISWAY - Kasus pembobolan rekening nasabah Bank Central Asia (BCA) di Jalan Indrapura Surabaya bikin geger. Pelakunya tak paham sistem perbankan. Mungkin rekening pun tak punya. Maklum, Setu yang ditetapkan sebagai tersangka adalah tukang becak.
Setu bukan pelaku utama. Dalangnya adalah Muhammad Thoha. Thoha ngekos di rumah korban: Muin. Saat salat jumat, kamar Muin tidak dikunci. Saat itulah Thoha mengambil KTP dan ATM di dompet korban. Thoha menemukan Setu yang wajah dan perawakannya mirip dengan Muin. Mereka janjian bertemu di Pusat Grosis Surabaya (PGS), di seberang Pasar Turi itu. Mereka lalu ke kantor BCA Indrapura untuk penarikan uang. Jumlah uang yang dicuri mencapai Rp 320 juta. BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Instruktur Bahasa Mandarin SIIBT King Tamara: Shu Neng Sheng Qiao BACA JUGA:Pelayanan Publik di Jatim Terus Diperbaiki Pihak Bank tak menaruh curiga karena Setu memang mirip dengan foto yang ada di KTP. Ia juga punya ATM dan KTP lengkap.Atas perbuatan saat ini Muin dituntut 1 tahun penjara. Dan Thoha sebagai dalang dituntut 4 tahun penjara. Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, mengapa bisa semudah itu mereka membobol rekening orang. Apakah kedua pelaku yang terlalu hebat? Atau ada pengawasan yang kurang dari pihak BCA?
Praktisi Hukum Johan Avi menilai seluruh Bank Umum di Indonesia terikat pada Prinsip Know Your Customer (KYC) dan kewajiban Customer Due Diligence (CDD).
Prinsip KYC sendiri pertama kali diperkenalkan di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor : 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. “Yang kemudian diperbarui melalui PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum,” ujar Johan, Rabu, 1 Januari 2023.
Johan menjelaskan, CDD merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan dalam rangka memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah. “Dalam Pasal 10 PBI No. 14/27/PB/2012 tertulis, bahwa Bank wajib melakukan CDD jika ditemukan Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh nasabah, penerima kuasa dan atau Beneficial Owner, atau jika ditemukan adanya transaksi tidak wajar,” terang advokat yang sudah 7 tahun berpengalaman di dunia fintech itu.
BACA JUGA:Beras Picu Kenaikan Inflasi
BACA JUGA:Dukung Smelter, Jokowi Ingin Kredit Dipermudah
"Tujuan penerapan KYC dan CDD adalah untuk mengantisipasi resiko kerugian yang dapat timbul atas transaksi yang dilakukan melalui usaha perbankan. Jadi hal ini adalah bagian dari Manajemen Risiko Perbankan juga, sebagaimana diatur di dalam Peraturan OJK No. 18/POJK.03/2016," imbuh Johan.
Penerapan KYC dan CDD pada Bank Umum tidak sesederhana hanya sekedar memeriksa KTP, PIN ATM, dan Buku Rekening saja. Apalagi jika transaksi yang dilakukan itu merupakan transaksi yang tidak wajar berjumlah besar.
"KYC dan CDD itu bukan cuma lihat foto di KTP, terus melihat wajah orang yang menghadap, oh ini sama. Tidak sesederhana itu. Apalagi hanya karena tahu PIN ATM, atau bawa Buku Rekening. Bank juga wajib melakukan interview terhadap nasabah.
"Ditanyakan tanggal berapa lahirnya, siapa nama ibunya. Terus nomor teleponnya berapa, dan lain sebagainya. CDD itu proses verifikasi nya harus rigid,” paparnya.
BACA JUGA:Wonderkid Persebaya Marselino Ferdinan Deal dengan Klub Belgia KMSK Deinze.
BACA JUGA:Rabu Pon Ternyata Weton Jokowi
Johan menilai, OJK dan Bank Indonesia harus memeriksa penerapan KYC dan CDD yang ada di Bank Central Asia (BCA) Indrapura pada saat peristiwa pembobolan terjadi. “Untuk dapat melihat sejauh mana sebuah Bank bertanggung jawab atas kerugian nasabah di dalam peristiwa yang seperti ini,” pintanya
Perlu untuk dipastikan apakah Bank menerapkan KYC dan CDD atau tidak. Maka peran OJK dan Bank Indonesia menjadi penting untuk melakukan audit investigasi terhadap penerapan KYC dan CDD. (*)