Mutiara peradaban di lorong-lorong Glodok, Jakarta Barat, menebar pesona. Yang kesengsem pun melintasi batas negara.
DUA turis bule itu tak langsung beringsut saat Ng Andre bersicepat melangkah, melewati Jalan Kemenangan VII, Glodok. Tetapi, itu tak lama. Stefanie dan Rainar, nama pelancong itu, langsung bergegas menyusul. Kaki mereka melangkah cepat melintasi gang yang dinaungi kanopi merah yang melengkung. Rupanya, mereka agak bingung. Kenapa tiba-tiba ada orang yang mengajak mereka mengunjungi kelenteng di gang-gang sempit Glodok. Kebingungan itu diutarakan Rainar begitu kami berhenti di dekat Wihara Fat Cu Kung, sekitar 100 meter dari mulut gang. ’’Kamu punya paket wisata?’’ tanya lelaki jangkung dengan messy man bun tersebut dalam bahasa Inggris. Andre menggeleng. ’’Saya cuma suka mengunjungi kelenteng,’’ ucapnya lalu tersenyum. BACA JUGA: Kelenteng Tua Benteng Budaya Rasanya, Rainar tahu bahwa Andre cuma sedang merendah. Ia tidak protes. Juga tak bertanya lebih lanjut. Sebab, pandangan Rainar dan Stefanie segera menemukan titik perhatian baru. Yakni, patung Buddha empat muka yang berwarna keemasan. ’’Ini seperti di Thailand, ya,’’ kata Stefanie yang bisa mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Melayu tersebut. Langgam Thailand pada kelenteng Fat Cu Kung itu pun bukan satu-satunya yang memikat. Secara umum, kelenteng itu cukup unik. Ia terletak di gang yang sempit. Areal kelenteng pun sempit. Bentuk arsitekturnya menjadi khas. Menyesuaikan dengan tempat yang tak luas. Seperti rumah-rumah di perkampungan padat penduduk. Di depannya ada gapura dengan dua naga di puncaknya. Mereka bertengger pada bidang yang berhias motif langit dan awan. Biru-putih.Patung Buddha di Kelenteng Tan Seng Ong yang menarik perhatian Rainar, turis dari Jerman.-Yulian Ibra-Harian Disway- ’’Ini sempit tapi tinggi. Tuh , lihat. Mungkin empat lantai,’’ kata Andre sambil menuding ke atas. Lantai dua dan tiga tampak seperti area tinggal pada sebuah ruko. Tetapi, di puncak bangunan tampak atap pagoda kecil yang menyembul. Yang juga memikat adalah ornamen kelenteng Fat Cu Kung yang penuh ukiran kayu. Halus. Detail. Warnanya yang cokelat gelap membentuk atmosfer magis dengan pendar lampion-lampion kecil di langit-langit kelenteng. Selama beberapa saat, Stefanie dan Rainar seperti tenggelam dalam keasyikan. Mereka memandangi ornamen-ornamen di dalam ruang altar. Namun, keasyikan itu tak lama. Masih ada satu tempat lagi yang harus dikunjungi. Andre lantas memandu kami berjalan ke arah barat. Sekali lagi, menyelinap di gang-gang sempit. Setelah bertemu sungai, kami berbelok ke arah utara. Di situlah Kelenteng Tan Seng Ong berdiri. Nama resmi kelenteng berusia hampir tiga abad itu adalah Wihara Tanda Bakti. Lokasinya cukup asyik. Persis menghadap Kali Krukut yang memisahkan Jalan Toko Tiga di sisi timur dan Jalan Toko Tiga Sebrang di sisi barat. Di situ, kembali Rainar dan Stefanie menuntaskan dahaga mereka pada kebudayaan Tionghoa. Sejoli itu memang punya minat khusus pada budaya-budaya Asia. Stefanie, misalnya, belajar di Penang, Malaysia. Juga pernah beberapa kali mengunjungi Hong Kong dan Beijing. Kalau di Indonesia, Stefanie pernah melawat ke Pulau We di ujung barat Sumatera. Dengan perlahan mereka menelusuri satu per satu altar yang ada di Kelenteng Tan Seng Ong. ’’Kami ingin melihat tempat ibadah. I like. I love it ,’’ puji Rainar, pemuda 41 tahun tersebut. ’’Sekaligus kami ingin melihat nuansa Tiongkok di sini,’’ timpal Stefanie.
Ng Andre (tengah) berfoto bersama Tim Harian Disway dan dua turis Jerman, Rainar dan Stefanie.-Dokumentasi Harian Disway- Bagaimana mereka bisa menemukan Glodok? Ternyata lewat Google . Terutama saat melihat foto-foto tentang Glodok. Stefanie mengaku pernah membaca bahwa Indonesia kaya akan peninggalan kebudayaan Tiongkok. Sehingga, dia pun tak menyesal saat akhirnya menghabiskan sore di Glodok. Di kelenteng itu kami akhirnya berpisah. Stefanie dan Rainar ingin mencicipi warisan budaya lain: makanan. Kami menyarankan mereka pergi ke Petak Enam di Jalan Pancoran. Dijamin, lidah mereka akan menyecap hal-hal baru yang mungkin akan mereka kenang… (*) *) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada. SERI BERIKUTNYA: Gereja Toasebio, Bukti Akulturasi yang Menawan