Seremoni kungfu cha (atau gong fu cha) bukan sekadar seni menikmati teh. Aktivitas ini memiliki banyak filosofi. Mulai dari mengenal diri sendiri, mendekatkan diri dengan alam, hingga mempererat persaudaraan.
Series Jejak Naga Utara Jawa (69) : Minum Teh Eratkan Persaudaraan
Rabu 12-04-2023,23:30 WIB
Editor : Retna Christa
ADA dua cara menikmati teh dalam tata cara Tionghoa. Pertama, teh dituang ke gelas mungil dulu. Lalu dari situ, dituang ke mangkuk kecil—atau yang disebut pin ming bei. Dalam bahasa Inggris, peranti itu disebut juga dengan aroma cup. Artinya, mangkuk untuk menghirup dan menikmati aroma teh.
Setelah itu, kita tinggal mengangkat mangkuknya dengan tangan kanan (awas jangan sampai kelingking mencuat), dan meyangga alas mangkuk dengan tangan kiri. Seperti cara minum teh di drama-drama kerajaan Tiongkok. Kalau bisa, habiskan teh dalam sekali seruput.
’’Tapi jangan langsung ditelan. Diamkan dulu di dalam rongga mulut. Selain untuk menyesap aromanya, ini juga berfungsi untuk membersihkan rongga mulut,’’ jelas tea assistant di Pantjoran Tea House yang memandu tim Jejak Naga Utara Jawa menjalankan kungfu cha.
BACA JUGA : Minum Teh pun Harus Dengan Gaya
Kami mengikuti petunjuk staf tersebut. Aroma teh yang asapnya masih mengebul lembut menyapa indera penciuman. Kami menyesapnya pelan-pelan. Sambil merasakan sensasinya. Teh puerh ini nikmat sekali. Cita rasanya kuat, dengan earthy taste yang khas, namun sama sekali tidak pahit. Sebaliknya, fresh luar biasa.
Kehangatannya menjalar ke seluruh tubuh. Lelah kami menyusuri Glodok dengan berjalan kaki seharian hilang seketika. Dengan bersemangat, kami minum beberapa cangkir lagi. Sang tea assistant mengingatkan, masih ada cara kedua yang harus dipelajari.
Cara kedua, teh dari teko kaca dituang ke gelas kecil terlebih dahulu. Lantas, tutup mulut gelas dengan mangkuk. Dengan hati-hati, balikkan gelas. Sehingga teh berpindah ke dalam mangkuk. Angkat gelasnya. Lalu hirup dulu aroma teh dari gelas mungil tersebut. Barulah kita bisa meminum teh dari mangkuk.
Asyik. Kami langsung merasa seperti tokoh-tokoh drama kerajaan Tionghoa. Meskipun secara fisik lebih mirip Biksu Tong Sam Cong dan murid-muridnya.
Mengangkat gelas kecil untuk menerima tuangan teh pun harus dengan teknik yang khas.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Setelah teh di teko kaca habis, kami menyeduh lagi. Seduhan kedua ini, sari-sari teh sudah lebih mudah keluar. Sehingga warnanya lebih pekat. Rasanya juga lebih kuat. Dan efeknya lebih melegakan. Sepaket teh bisa diseduh sekitar empat sampai lima kali. Kalau lebih dari itu, aroma serta cita rasanya sudah berkurang.
Menuru sang staf, pengunjung Pantjoran Tea House adalah gabungan dari turis dan warga setempat. Turis rata-rata penasaran. Sedangkan yang sudah tahu, pasti ketagihan. Karena memang tempatnya sangat nyaman buat nge-teh berlama-lama.
’’Ada keluarga-keluarga yang rutin datang kemari. Malah ada komunitas yang selalu menggelar pertemuan tiga bulan sekali. Anggotanya 250 orang,’’ ungkapnya. ’’Anak-anak muda juga banyak yang datang,’’ imbuh dia. Maklum sih. Pantjoran Tea House memang Instagrammable.
Di Tiongkok, minum teh sudah menjadi budaya. Tak ada waktu khusus kapan harus nge-teh. Tapi, untuk seremoni lengkap, biasanya dilakukan saat momen spesial. Misalnya, saat bertemu teman atau saudara yang lama tidak berjumpa. Karena ritualnya panjang, otomatis kita makin betah ngobrol berlama-lama dengan sahabat tersebut.
’’Jadi mempererat tali persaudaraan juga. Itulah sebenarnya filosofi kungfu cha,’’ jelas staf tersebut.
Dekorasi Pantjoran Tea House yang apik dengan pernik-pernik khas Tionghoa.-Instagram Pantjoran Tea House-
Ya, kungfu cha memang punya banyak manfaat. Termasuk buat diri sendiri. Mengutip situs Psychology Today, minum teh berdampak pada kesehatan mental. Ritualnya melatih kesabaran. Membuat pikiran lebih tenang dan santai. Tidak grusa-grusu. Bahkan, aktivitas ini bisa difungsikan sebagai meditasi. Asal nge-tehnya tidak dilakukan sambil nonton konser…
Tea assistant itu meninggalkan kami yang sudah pede menyeduh teh sendiri. Sambil menyeruput cangkir demi cangkir, kami memperhatikan interior Pantjoran Tea House.
Gedung ini begitu cantik. Dengan dinding bercat putih dan perabot kayu warna cokelat gelap yang dipelitur mengkilap. Di langit-langit, lampion-lampion merah berpadu dengan bohlam yang digantung secara acak namun artistik. Lantainya ditutup tegel kunci. Sungguh perpaduan yang sempurna antara gaya Tionghoa klasik dan modern.
Di lantai satu, nuansa klasiknya lebih terasa. Sebab, lebih banyak perabot Tionghoa lawas yang dipajang sebagai dekorasi. Terdapat pula ruang meeting yang dibatasi dengan partisi kayu. Dan di antara jendela-jendelanya yang besar, terpajang lukisan serta foto-foto Batavia lama. Tak mengherankan kalau tempat ini dijadikan cagar budaya. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
SERI BERIKUTNYA : Tradisi Patekoan yang Masih Dipertahankan
Kategori :