Jejak kebudayaan yang kami telurusi bisa lestari karena orang-orang ini. Yakni, mereka yang peduli, mereka yang memantapkan tradisi, hingga bekerja dalam sunyi sembari menjaga prasasti.
Series Jejak Naga Utara Jawa (79-habis) : Jadi Pelestari karena Kesengsem
Sabtu 22-04-2023,19:57 WIB
Editor : Doan Widhiandono
ADALAH Baskoro Pop yang mendampingi tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway di Lasem, Rabu, 18 Januari 2023. Seharian penuh. Mulai pagi hingga menjelang petang.
Lelaki 46 tahun itu terlihat bersemangat mengantar kami ke berbagai tempat. Berbagai jejak sejarah. Ia membawa kami ke pembuatan yopia, penganan khas Lasem, milik Siek Tian Nio alias Waras.
Pop, sapaannya, pun menuntun kami menyeberangi persawahan untuk menyambangi makam Tan Sin Ko alias Babah Singseh, salah satu pahlawan Tionghoa dalam Perang Kuning di Lasem sekitar dua abad silam. Tentu saja, Pop juga tidak ketinggalan menuntun kami mengunjungi rumah dan kelenteng tua yang elok di Lasem.
BACA JUGA : Bekas Istal yang Rupawan
BACA JUGA : Lima Tahun Lebih Sulap Rumah Merah
BACA JUGA : Resep Bertahan Empat Generasi
BACA JUGA : Jawa-Tionghoa-Santri Lawan VOC
Dan Pop, pria berkacamata yang ramah itu, adalah tour guide yang baik. Bukan hanya karena ia tahu banyak tentang lokasi yang dikunjungi. Tetapi, Pop juga rajin mencari feedback dari ’’kliennya.’’
’’Kita seru jalan-jalannya kemarin. Gimana? Temanya seru, kan?’’ ucapnya melalui pesan WhatsApp setelah kami berpisah.
Tak heran, kecintaan Pop pada Lasem—juga Rembang—memang tak diragukan. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lasem Heritage. Juga menjadi salah satu co-founder Kesengsem Lasem, aktivitas yang bernaung di bawah Yayasan Lasem Heritage sejak 2018. Nah, Kesengsem Lasem itulah yang sejatinya memandu kami sebelum ekspedisi di kecamatan yang terletak di Kabupaten Lasem tersebut.
Nama organisasi itu cukup unik. Simpel. Tapi bermakna mendalam. Pasti, isinya adalah orang-orang yang kesengsem atau kasmaran pada Lasem. Organisasi yang kegiatannya juga bakal membuat orang lain bakal kesengsem.
BASKORO POP (kanan) memandu tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa mengunjungi makam Tan Sin Ko.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Pencarian tentang Kesengsem Lasem membawa kami bertukar pesan dengan Agni Malagina, founder organisasi tersebut. Sayang, jadwalnya enggak pas. Ketika kami di Lasem, Agni yang jurnalis dan penulis di National Geographic tersebut sedang berada di Yogyakarta.
’’Kesengsem Lasem memang muncul dari ide Agni Malagina dan Feri Latief pada 2015. Juga ada beberapa jurnalis dan fotografer,’’ kata Pop. Ketika mengunjungi Lasem, mereka ternyata kesengsem. Muncul ide untuk membentuk sebuah gerakan untuk membangkitkan cinta kepada warisan budaya di Lasem. Baik yang benda atau non-benda. Kesengsem Lasem menyebut banyak orang sebagai co-founder-nya. Termasuk di antaranya Pop.
Kata Pop, ia memang jatuh cinta pada segala hal yang berbau warisan budaya. ’’Bagi saya, itu semua adalah pusaka yang harus dirawat. Ini sesuai UU nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,’’ kata Pop.
Pada undang-undang tersebut, ada sepuluh hal yang menjadi objek pemajuan kebudayaan. Yakni, tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. ’’Dan itu banyak di Lasem,’’ ucap Pop.
Aktivitas Pop sebagai pegiat budaya yang bersentuhan dengan pariwisata juga dirasanya selaras dengan undang-undang tersebut. Terutama terkait dengan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. ’’Aktivitas wisata itu juga efektif, lho. Masyarakat sekitar bisa mendapatkan manfaat. Sehingga, mereka pun ikut menjaga warisan budaya itu,’’ tutur Pop.
Kesengsem Lasem bergiat di dua dunia. Maya dan nyata. ’’Lewat info media sosial, selalu ada orang yang lalu ingin main ke Lasem. Efektif juga,’’ ucapnya.
AGIK NURUNA SOEKARNO menerangkan tentang alat cap batik yang dipajang di Museum Nyah Lasem.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Di Lasem, kami juga bertemu Agik Nuruna Soekarno. Namanya juga disebut sebagai salah satu co-founder Kesengsem Lasem. Agik kami temui di Museum Nyah Lasem. Ia menjaga bangunan berusia lebih dari tujuh dekade itu. Museum tersebut adalah sebuah rumah gladak. Dindingnya kayu. Pemilik terakhirnya adalah Tio Swan Sien.
Agik juga mengajak kami mengelilingi rumah tersebut. Melihat koleksinya yang beragam. Mulai korespondensi terkait bisnis batik, lembaran batik lawas, atau canting dan alat cap untuk memulaskan lilin panas. ’’Kebetulan Pak Tio ini juga orang yang pengarsipannya baik,’’ kata Agik.
Ia tetap bersemangat menelusuri ruang-ruang museum yang kelihatan kuno itu. Bau apak sesekali muncul. Bercampur aroma debu.
Hari itu, hanya ada kami yang berkunjung dan makan siang di kedai depan museum yang dikelola Agik. Begitu kami beranjak pulang, bisa dipastikan Agik akan sendiri lagi. Berteman bangunan tua dengan benda-benda yang juga sepuh itu.
Agik, Pop, dan pegiat Kesengsem Lasem memang layak diapresiasi. Mereka tetap tekun dalam sunyi. Seperti jauh dari ingar-bingar pariwisata budaya pop lainnya.
Tetapi, orang-orang itu memang ada. Sama seperti mereka yang kami jumpai sepanjang ekspedisi. Mulai sisi barat hingga timur Jawa. Di pesisir utara… (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
Kategori :