Setelah itu, ada perawatan pascaoperasi, pendonor dan penerima donor. Di RSCM sejak 2009 sudah ada 200 kali operasi transplantasi ginjal.
Namun, kebanyakan pasien yang harus ganti ginjal sulit menemukan pendonor. Selain jumlah pendonor sedikit, ginjalnya harus cocok dengan calon penerima. Karena itu, pasien mati sebelum dapat pendonor.
Dikutip dari Global Financial Integrity, 2017, pada 2014 ada 4.761 pasien gagal ginjal di Amerika Serikat (AS) yang meninggal saat menunggu transplantasi ginjal. Itu karena kurangnya pendonor.
Akibatnya, banyak beredar pendonor ginjal di pasar gelap. Artinya, pendonor menjual ginjal. Bukan melalui proses legal seperti di RSCM.
Harga pasaran ginjal manusia USD 50.000 (Rp 751 juta)–USD 120.000 (Rp 1,8 miliar) per ginjal. Dan, banyak beredar. Di sana beredar 7.995 ginjal manusia dijual per tahun.
Di pasar gelap juga ada ginjal kualitas terbaik. Hasil seleksi ahli ginjal. Harganya USD 1 juta (sekitar Rp 15 miliar). Ginjal terbaik kelas dua sekitar USD 557.000 (sekitar Rp 8,37 miliar).
Maka, dugaan Polri, ginjal yang dijual kelompok orang di Bekasi seharga Rp 135 juta tergolong murah. Meskipun sudah dipotong biaya operasi transplantasi Rp 300 juta.
Tapi, laporan dari AS itu kan untuk perdagangan ginjal gelap di negara maju seperti AS. Sedangkan, dugaan perdagangan ginjal di Bekasi akan dijual di negara miskin Kamboja.
Satu hal yang menarik dari kasus Bekasi. Orang hidup normal tidak mungkin menjual ginjal. Normal secara psikologis dan pemenuhan kebutuhan hidup paling dasar: makan.
Penjual ginjal pasti terkait urusan perut. Bukan karena letak ginjal di perut. Bukan. Melainkan, perut mereka lapar. Dalam bahasa Jawa berbunyi ”urusan weteng, moto dadi peteng” (urusan perut, mata jadi gelap).
Kalau begitu, tanggung jawab siapa? (*)