Kondisi itu membikin Indonesia dalam bahaya perpecahan.
BACA JUGA:Presiden Jokowi: Jangan Takut dengan AI, Menkominfo Susun SE Etika Artificial Intelligence
BACA JUGA:Setelah Gandeng Penegak Hukum, Kominfo Kini Ajak Provider Internet Perangi Judi Online.
Dikutip dari The Guardian, 20 Maret 2019, berjudul Fake news spikes in Indonesia ahead of elections, ada wawancara Guardian dengan Ross Tapsell, dosen dari Australian National University, pengamat Indonesia di Jakarta.
Tapsell mengatakan tentang hebohnya hoaks jelang Pemilu 2019 dan prediksi perpecahan masyarakat. Menurut Tapsell, kekhawatiran perpecahan sosial politik di Indonesia akibat hoaks online jelang Pemilu 2019 tidak akurat. Walaupun hoaks politik itu berisiko, di lapangan masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda bakal pecah.
Tapsell kepada Guardian: ”Wacana media sosial membuat kita semua menganggap polarisasi lebih besar daripada yang sebenarnya. Dan, para politikus terus mendorong hal itu. Menurut saya, ini buruk bagi demokrasi. Tapi, Indonesia sepertinya tidak akan pecah.”
BACA JUGA:Kemenkominfo: Mahasiswa di Indonesia Bisa Belajar Bikin Game lewat IGDX 2023
BACA JUGA:Liku-Liku Uang Suap di Kasus Megakorupsi Proyek BTS 4G Kemenkominfo
Pernyataan Tapsell itu kemudian terbukti benar. Pemilu 2019 berlangsung aman damai. Tapsell kelihatannya paham karakter masyarakat Indonesia. Bahkan, setelah jadi presiden, Jokowi menarik Prabowo Subianto jadi menteri pertahanan.
Kini kondisi jadi berbalik. Jika dulu Prabowo bersaing keras dengan Jokowi, kini Prabowo merangkul putra Jokowi, Gibran, jadi bakal cawapresnya. Terus, hoaks model bagaimana lagi yang bakal muncul? (*)