HARIAN DISWAY - Menyimpan banyak misteri, Situs Petirtaan Jolotundo menjadi salah satu destinasi wisata di Trawas, Mojokerto.
Wilayah petirtaan itu meninggalkan enkripsi, bangunan, arca-arca, serta batu andesit yang berserakan. Selain itu, terdapat aksara "Gempeng" yang dalam beberapa analisa, menyingkap kondisi orisinil situs tersebut sebelum dibangun.
Di sana nampak seorang pria yang tengah kepayahan memanggul segalon air. Sudah beberapa kali ia hilir-mudik, memenuhi satu galon di pancuran Jolotundo, lalu dibawanya turun. Tak lama, ia naik lagi membawa galon kosong. Diisi lagi, turun lagi. Terus seperti itu hingga sekitar lima-enam kali.
Air Petirtaan Jolotundo memang menggoda. Khasiatnya yang menyebar dari mulut ke kulut telah terdengar ke seantero Nusantara. Ki Bagong Sabdo Sinukarto selaku Ketua Forum Pamong Kebudayaan Jatim (FPK-Jatim) telah membuktikan sendiri kualitas air itu.
Air itu dipercaya bagus untuk kulit, supaya awet muda, katanya. "Memang benar, ketika disimpan dalam jangka waktu lama, warna airnya masih bersih. Tak ada endapan atau lumut. Segar juga." Ujar pria yang tinggal di kawasan Pandaan, Pasuruan itu, melalui panggilan telepon.
BACA JUGA: Prabowo Subianto Resmikan 15 Titik Sumber Air Bersih di Jawa Barat dan Banten
Namun, hal yang istimewa dari Jolotundo tidak hanya airnya. Melainkan juga misteri yang menyelubunginya. Pahatan enkripsi bertuliskan "Gempeng" pada badan situs berhasil membuat penasaran banyak arkeolog dan sejarawan.
Analisa terawal tentang enkripsi tersebut muncul dari arkeolog JL Moens, yang menyatakan bahwa kata "Gempeng" bermakna hancurnya hati individu karena kesedihan mendalam. Asumsinya, Sang Raja Udayana bersedih lantaran belum dapat bertahta di Bali. Kala itu, Bali masih berada di bawah pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi.
Kendati di Bali sudah ada raja, maka Udayana pergi ke Jawa, dan menikahi cucu Pu Sindok dari Kerajaan Medang, Gunapriya Dharmapatni.
Selagi menunggu berakhirnya kekuasaan Mahadewi, ia pun membangun petirtaan dan menulis enkripsi "Gempeng". Sebagai tanda hancurnya hati.
BACA JUGA: Petirtaan Jolotundo, Lambang Cinta Udayana
Akan tetapi pendapat itu banyak disanggah. Arkeolog Agus Aris Munandar berpendapat melalui bukunya Arkeologi Pawitra. "Kata gempeng berkaitan dengan proses pembangunan petirtaan tersebut," tulis Agus.
Menurutnya, kawasan Gunung Penanggungan terdapat banyak bukit batu, sehingga sumber air cukup langka. Air yang ada salah satunya berasal dari mata air yang tercurah melalui celah-celah bebatuan.
Ketika hendak dibangun petirtaan, maka strukturnya perlu diubah. Beberapa bagian bukit harus dipangkas dan diratakan. "Keadaan itu dapat dilihat hingga sekarang. Jolotundo berada di kaki perbukitan batu yang telah diratakan sebagian. Guna menyusun dinding belakang petirtaan," tulisnya.