Itu berarti, sampah makanan yang sangat besar tersebut menjadi pemborosan secara ekonomi. Dalam kajian Bappenas, kerugian secara ekonomi per tahun bisa mencapai Rp 231–551 triliun. Itu setara dengan kontribusi ke produk domestik bruto sebesar 4–5 persen. Jumlah tersebut seharusnya bisa memberi makan 30–40 persen jumlah penduduk.
Itu belum termasuk biaya penanganan sampah makanan. Di banyak kabupaten/kota, belum ada pemilahan sampah secara ketat antara sampah organik dan nonorganik. Sampah makanan termasuk sampah organik yang sebenarnya bisa dijadikan pupuk kompos. Meski demikian, pengumpulan dan penanganannya juga memerlukan biaya yang sangat besar.
Selain pemborosan, sampah makanan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan. Bappenas mencatat, total potensi dampak pemanasan global yang dihasilkan dari food loss and waste di Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Mton CO2-ekuivalen atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi gas rumah kaca di Indonesia selama 20 tahun.
BACA JUGA: Ratusan Orang Terciduk Buang Sampah Sembarangan di Surabaya , Denda Capai 29 Juta
BACA JUGA: BRUIN Rilis 10 Perusahaan Penyumbang Sampah Plastik Terbanyak
Bagaimana mengatasinya? Menanamkan budaya hemat. Masyarakat berbelanja hanya pada barang atau makanan yang memang diperlukan. Perlu imbauan agar semua konsumen menghabiskan makanan yang dipesannya di mana pun. Budaya berlebihan masyarakat terhadap makanan harus dihilangkan.
Di banyak kota di Eropa, diterapkan denda atas pembelian makanan yang tidak habis atau tersisa. Meski bisa membayar makanan, tidak berarti bahwa orang boleh membeli apa saja yang diinginkan. Sebab, di satu sisi ada yang menyia-nyiakan makanan, sementara di sisi lain banyak orang yang tidak bisa membeli makanan karena tidak memiliki pendapatan yang cukup. Karena itu, membuang makanan itu termasuk tindakan tidak etis.
Sebenarnya agama sudah melarang membuang atau menyia-nyiakan makanan. Umat Islam, misalnya, dikenalkan istilah mubazir –barang sia-sia yang tidak bermanfaat– sebagai teman setan. Artinya, menyia-nyiakan makanan termasuk tindakan yang bisa berdampak buruk.
Untuk itu, Islam mengenalkan dan membedakan antara wants dan need. Manusia hendaknya memenuhi need-nya, bukan wants. Dengan prinsip itu, masyarakat hanya membeli makanan yang memang diperlukan. Bukan membeli karena mampu membeli atau membeli secara berlebihan. (*)
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, wakil dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga.