Defeodalisasi Jabatan Publik (2-Habis): Pendidikan Modern sebagai Kunci

Kamis 05-09-2024,21:18 WIB
Oleh: Purnawan Basundoro*

Strategi jitu untuk tetap berkuasa di negara jajahan adalah membiarkan atau bahkan meneguhkan dominasi elite pribumi. Hanya dengan cara itu, kaum elite pribumi akan tetap setia dengan penguasa kolonial sehingga setiap langkah demokratisasi yang mengedepankan kesamaan kedudukan harus dicegah. 

Upaya mengenyahkan feodalisme menjadi pembuka jalan menuju pada kebebasan yang lebih luas, yaitu kemerdekaan. 

Hal itu sejalan dengan apa yang dipikirkan murid Cokroaminoto, yaitu Soekarno, yang kelak bersama Mohammad Hatta menjadi penanda tangan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

Dalam pembelaannya saat diadili pengadilan kolonial (Landraad) di Bandung pada 1930, yang tersusun dalam buku yang diberi judul Indonesia Menggugat, ia mengutip pendapat dari Josef Mazzini dari Italia. 

Membangunkan tanah air ini, malahan adalah sebuah kemustian. Penguatan hati hanya bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik apabila kamu ikut serta dalam kehidupan politik bangsa.”

Pendapat tersebut menegaskan bahwa dengan kemerdekaan sebagai kunci demokrasi dengan sendirinya membuka pada kebebasan individu pada partisipasi politik yang lebih luas. 

Artinya, dalam kemerdekaan, individu akan memiliki nilai yang sangat tinggi dalam menentukan pilihan-pilihan sesuai hati nuraninya. Itulah sesungguhnya nilai paling mendasar dari demokrasi tersebut yang diperjuangkan para tokoh bangsa pada periode paling awal. 

Jika kemerdekaan sudah diraih, kebebasan menentukan pilihan tentu saja akan berlaku pada berbagai hal yang lebih luas, seperti memilih para wakil untuk duduk di parlemen, serta memilih pejabat publik dari berbagai tingkatan. 

Bibit-bibit berdemokrasi yang berhasil disemai oleh para pendiri bangsa perlahan-lahan bisa dipraktikkan lebih luas setelah kemerdekaan Indonesia diraih pada 1945. Bahkan, pada 1950-an, sebagian masyarakat Indonesia mengeklaim mengenai ”zaman demokrasi”. 

Sebuah buku kecil yang ditulis Soedjono Hardjosoediro berjudul Lurah Desa dalam Negara Demokrasi yang terbit pada 1951 menguraikan apa itu zaman demokrasi. 

Ia menyatakan bahwa zaman demokrasi adalah kesan yang tumbuh dalam masyarakat mengenai cara bekerja dalam pemerintahan dan politik yang berbeda dengan cara bekerja pada zaman penjajahan. 

Perbedaan itu, oleh sebagian pejabat pamong praja di tingkat rendah, malah justru menimbulkan kerugian dan ketakutan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang ragu-ragu dalam menjalankan tugas. 

Itulah realitas masa transisi di mana benih-benih demokrasi yang disemai pada periode panjajahan mulai tumbuh dan berkembang. 

Pemahaman umum yang berkembang pada awal kemerdekaan mengenai ”cara demokrasi” pada intinya adalah cara musyawarah dengan rakyat. Artinya, segala sesuatu sebelum diputuskan harus dimusyawarahkan dulu dengan wakil-wakil rakyat. 

Seorang pemimpin di level mana pun tidak boleh sewenang-wenang mengeluarkan keputusan yang berimplikasi luas terhadap rakyat sebelum mendapatkan masukan dari wakil-wakil rakyat melalui mekanisme permusyawaratan. 

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa seorang pimpinan perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak, baik resmi maupun tidak resmi, sebelum memutuskan sesuatu. 

Kategori :