KATA warisan sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Sebab, terminologi itu menjadi bagian dari ajaran agama. Dalam fikih, warisan diartikan suatu peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia untuk diberikan kepada ahli waris. Peninggalan dimaksud berupa harta benda atau kekayaan seperti uang, rumah, tanah, properti, dan investasi.
Lalu, apa hubungannya warisan dengan presiden RI? Meminjam terminologi fikih, warisan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah peninggalan dari presiden yang telah selesai masa jabatannya untuk bangsa dan negara yang telah dipimpin. Presiden yang dimaksud adalah presiden Republik Indonesia (RI) sesuai periode masing-masing.
Presiden Pertama RI Soekarno dikenal sebagai Bapak Proklamator, Presiden Kedua Jenderal Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan, Presiden Ketiga B.J. Habibie dikenal sebagai Bapak Teknologi, dan Presiden Keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai Bapak Pluralisme.
BACA JUGA: Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (1): Politik: Arisan dan Takdir
BACA JUGA: Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik
Lalu, Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri dikenal sebagai Ibu Penegak Konstitusi, Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal sebagai Bapak Perdamaian, dan Presiden Ketujuh Joko Widodo tampaknya belum mendapat julukan atau sebutan seperti presiden-presiden sebelumnya.
Sementara itu, Presiden Kedelapan Prabowo Subianto yang dijadwalkan dilantik pada 20 Oktober 2024 ibarat mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, baru memasuki masa kuliah dan mengerjakan tugas-tugas sampai masa tugas akhir (TA) dan kelak dinyatakan lulus.
Setelah itu, dinilai bersama oleh seluruh komponen bangsa terkait program kerja yang dicapai sebagai tidak lanjut dari visi-misi yang dicanangkan. Atas dasar penilaian tersebut, Prabowo suatu saat akan mendapat sebutan atau julukan yang sesuai, kelak di kemudian hari setelah selesai mengemban jabatan presiden, sebagai warisan berharga.
BACA JUGA: Meneroka Kebijakan Luar Negeri Prabowo (1): Strategi dan Arah Kebijakan
BACA JUGA: Meneroka Kebijakan Luar Negeri Prabowo (2-Habis): Implikasi dan Tantangan
Setelah dilantik, presiden dengan kabinet pemerintahan yang baru dapat belajar dari presiden dan pemerintahan sebelumnya sebagai suatu pengalaman yang sangat berharga untuk referensi pemerintahan berikutnya dengan berorientasi pada kemaslahatan bangsa dan negara yang berprinsip pada kaidah ”al-muhafadhotu ’ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Artinya, memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Implementasi dalam konteks kepemimpinan nasional, antara lain, adalah apa yang dilakukan para pemimpin sebelumnya penting menjadi sebuah pelajaran berharga (ibrah) dan pengalaman penting karena guru terbaik adalah pengalaman.
Hal-hal yang menjadi catatan negatif dan pengalaman buruk dalam memimpin bangsa jangan sampai terulang. Sebaliknya, hal-hal yang baik dapat dilanjutkan.
BACA JUGA: Soal HAM, Capres Prabowo Sudah Kebal
BACA JUGA: Heritabilitas Politik Gibran dan Kaesang dalam Genopolitik