Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Selasa 08-10-2024,09:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

AKHIR PEKAN lalu saya diundang Gereja Kristen Indonesia (GKI) Citraland, Surabaya. Bukan bicara tentang kehidupan antarumat beragama atau masalah keagamaan. Melainkan, terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024.

Ini bukan kali pertama. Salah satu organisasi sosial kemasyarakatan umat Kristen itu telah berulang-ulang menyelenggarakan sosialisasi terhadap jemaatnya dengan program Gerakan Safari Pilkada Serentak. Saat pilpres, telah dilakukan kegiatan serupa.

Saya senang berdialog dengan mereka. Sebab, punya kesempatan untuk berjumpa kembali dengan kawan-kawan lama. Para pendeta maupun aktivis yang dulu sering bersua dalam berbagai kegiatan. Juga, punya kesempatan mendengarkan aspirasi politik mereka.

BACA JUGA: Dukungan Pada Kotak Kosong Surabaya Meningkat

BACA JUGA: KPU Surabaya Pertimbangkan Adanya Kursi Kotak Kosong di Debat Pilkada 2024

Saya kebagian tema tentang Memilih Pemimpin yang Berakhlak, Semanak, dan Bertindak Bijak. Pembicara lainnya Wakil Rektor Universitas Kristen Darma Cendika Victor Nalle. Diskusi dipimpin Pdt Nathanel Sigit dari GKI Krian, Sidoarjo.

Dalam tanya jawab, ada yang menarik perhatian mereka dalam pilkada kali ini. Apa itu? Tentang fenomena kotak kosong di beberapa daerah. Itu adalah pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti pasangan calon tunggal. Secara aturan, mereka tetap harus melawan kotak kosong.

Memang fenomena kotak kosong dalam pilkada serentak kali ini cukup banyak. Menurut data yang dilansir KPU, ada 37 provinsi dan kabupaten/kota yang hanya memunculkan pasangan calon tunggal. Satu provinsi itu di Papua Barat. Sedangkan selebihnya di kabupaten/kota. Salah satunya Kota Surabaya.

BACA JUGA: Temui KPU Kota Surabaya, MAKI Jatim Dukung Kotak Kosong

BACA JUGA: Armuji: Kotak Kosong Tak Punya Program yang Jelas, Harus Dikosongkan!

Tahun ini ada 37 provinsi yang menyelenggarakan pilkada serentak. Itu berarti, hanya 2,7 persen kotak kosong dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan di tingkat kabupaten kota, berarti ada 12,96 persen calon bupati atau wali kota yang melawan kotak kosong.

Mengapa bisa muncul fenomena kotak kosong? Apakah ini merupakan indikator kemerosotan demokrasi politik kita? Lantas, bagaimana kita harus menghadapi pilihan kotak kosong ini? Mana yang lebih baik, memilih kotak kosong atau pasangan calon yang ada meski tak sesuai dengan pilihan hati nurani?

Ditilik dari ekosistem demokrasi politik kita, fenomena kotak kosong merupakan petunjuk ada yang salah dalam sistem politik kita. Satu hal yang bisa dikemukakan adalah membuktikan kegagalan partai politik dalam kaderisasi kepemimpinan mereka. Partai, yang seharusnya mampu mencetak pemimpin, gagal menyodorkan kadernya kepada pemilih.

BACA JUGA: Pilkada Akan Diulang Jika Kotak Kosong Menang, Termasuk Surabaya

BACA JUGA: 5 Daerah Jatim Usung Paslon Tunggal, Pilkada Diulang Tahun Depan Bila Kotak Kosong Menang

Kategori :