Kotak Kosong dalam Demokrasi

Jumat 18-10-2024,16:24 WIB
Oleh: Didik Sasono Setyadi*

MENGAMATI dan mengalami sendiri demokrasi di Indonesia sungguh menjadikan kita semua makin dewasa. Betapa tidak? Sejak Indonesia merdeka, segala pahit-manis dan pasang-surut dinamika demokrasi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia datang silih berganti.

Semua masih ingat bagaimana ketika gerakan prodemokrasi dijadikan jargon untuk menumbangkan Orde Baru yang kemudian melahirkan Orde Reformasi. Rentetan akibatnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen hingga empat kali. Dengan begitu, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya dua kali. 

Level Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diturunkan sehingga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang bisa memilih presiden dan wakil presiden karena pemilihannya digantikan dengan model pemilihan langsung oleh rakyat. MPR hanya bettugas melantik. 

BACA JUGA:Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi

BACA JUGA:Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Otonomi daerah dibuka lebar-lebar dengan UU No 22 Tahun 1999 meski kemudian dikoreksi dengan UU No 32 Tahun 2004. Akhirnya dikoreksi lagi dengan UU No 23 Tahun 2014. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, sempat menjadi lembaga yang terkesan seperti lembaga superbodi akhirnya digembosi dengan UU No 19 Tahun 2019.

Semua itu dimungkinkan terjadi karena adanya tuntutan prodemokrasi. Itulah mengapa para pendukung, penganjur, dan pejuang demokrasi selalu bilang bahwa tidak ada sistem politik kenegaraan lain yang mampu menjamin terselenggaranya pergantian kekuasaan, menjaga terjadinya persaingan keras di antara pengusung ideologi dan/atau kepentingan-kepentingan politik yang berbeda-beda tapi bisa tetap berlangsung secara damai. 

Maka itu, jangan pernah main-main, tawar-menawar, serta mempermainkan demokrasi bila kita tidak ingin lagi ada pertumpahan darah di negeri ini.

BACA JUGA:Debat Pertama Pilwali Surabaya, Pendukung Eri-Armuji vs Kotak Kosong Bersitegang

BACA JUGA:Debat Perdana Pilwali Surabaya Tanpa Kursi Kotak Kosong

Bangsa Indonesia mengalami dan merasakan bagaimana era kekuasaan Presiden Soekarno berpindah ke Presiden Soeharto, kemudian dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie. Semuanya berjalan dengan memilukan. Ada tragedi berdarah-darah yang menyisakan trauma. 

Peralihan di era dua presiden tersebut merupakan peralihan pemerintahan di luar adab demokrasi karena di ujung menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Lama, demokrasi telah terbunuh dengan diterapkannya demokrasi terpimpin. Alhasil, Presiden Soekarno, meski sangat dicintai rakyat Indonesia, akhirnya dijatuhkan. 

Demikian juga di era Orde Baru. Di ujung menjelang tumbangnya orde itu, karena tidak pernah dipersiapkan suksesi pemerintahan yang mulus dan natural, justru KKN makin marak, kehidupan politik (saat itu) makin dibelenggu dengan lima paket undang-undang politik agar Soeharto dan kroni-kroninya tetap bisa langgeng mengendalikan kekuasaan, akhirnya ditumbangkan oleh gerakan reformasi prodemokrasi.

BACA JUGA:Demokrasi Membutuhkan Etika

BACA JUGA:Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi

Kategori :