Kotak Kosong dalam Demokrasi

Jumat 18-10-2024,16:24 WIB
Oleh: Didik Sasono Setyadi*

Dari sejarah yang terjadi, dapat dipetik pelajaran bahwa politik pemerintahan yang tidak demokratis di Indonesia dan di banyak negara di dunia umumnya diakhiri dengan pergantian kekuasaan yang memakan jatuhnya korban nyawa anak-anak bangsa.

Oleh karena itu, demokrasi yang telah teruji sebagai sistem yang mampu memberikan suasana terselenggaranya pergantian pemerintahan secara damai haruslah dipertahankan pemegang amanah rakyat sebagai pemerintah apa pun risikonya dan berapa pun ongkosnya. Bila tidak, tidak mustahil akan ditumbangkan.  

Menjaga demokrasi yang paling nyata adalah dengan jalan melawan setiap upaya untuk memanipulasi demokrasi dengan berbagai dalih dan dalilnya. Misalnya, dengan dalih kestabilan politik, kesinambungan pemerintahan, dan dengan dalil interpretasi-interpretasi ketentuan hukum fomalistis prosedural hukum ketatanegaraan dengan mengesampingkan etika dan moral. 

BACA JUGA:Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

 BACA JUGA:Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

Manipulasi-manipulasi demokrasi yang menjurus pada pengingkaran demokrasi itu sebenarnya cukup mudah dideteksi, yaitu dengan melihat: Apakah check and balance berjalan? Apakah ada independensi yudikatif? Ataukah terdapat intervensi dan atau kooptasi kekuasaan eksekutif (baik yang formal maupun ”shadow government”) yudikatif? 

Bila check and balance tidak berjalan, bila yudikatif tidak independen, positif itu adalah manipulasi demokrasi apa pun dalih dan/atau dalilnya. Pemerintah Orde Lama pernah membungkus pengingkaran demokrasi dengan ”demokrasi terpimpin” untuk meneruskan ”revolusi Indonesia”. 

Pemerintah Orde Baru mengemasnya dengan istilah ”demokrasi Pancasila” demi ”kesinambungan pembangunan”. Yang jelas, apa pun judulnya, yang terjadi adalah hilangnya kesempatan bagi publik untuk melakukan check and balance serta terpusatkan kekuasaan di tangan kekuatan politik yang memerintah sehingga terjadi gangguan fungsi kontrol legislatif dan independensi yudikatif.

Intervensi dan kooptasi kekuasaan eksekutif ke legislatif dan yudikatif dilakukan melalui banyak hal. Yang paling kasatmata (mencolok) adalah melalui penempatan, penunjukan, dukungan terhadap saudara, keluarga, kerabat, kawan dekat ke lembaga-lembaga tersebut (dan tentu saja juga ke lembaga eksekutif sendiri dan segala rumpunnya) dengan mengabaikan sistem meritokrasi. 

Bahkan, celakanya, langkah-langkah yang penguasa ambil membuat mereka-mereka yang idealis, kompeten, dan konsisten memegang teguh integritas melalui jalur meritokrasi menjadi frustrasi karena selalu tersingkir dalam persaingan yang tidak fair melawan gerbong nepotisme. 

Terkait demokrasi dan manipulasi demokrasi itu, fenomena kotak kosong kali ini memang tidak terjadi pada pemilihan kepemimpinan nasional, tetapi terjadi dalam pemilihan kepala-kepala daerah. Marilah merenung sedalam-dalamnya tentang fenomena ini di dalam pelaksanaan demokrasi pemilihan kepala daerah di Indonesia. 

Apakah pantas demokrasi negara kita yang masyarakatnya plural, jumlahnya sangat banyak, memiliki berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, mengenal nilai-nilai luhur, dan memiliki keteladanan kepemimpinan yang hebat-hebat, tapi harus gagal mengajukan pilihan calon-calon pemimpin mereka sendiri gara-gara penguasa-penguasa politik (baca partai-partai politik) mengerdilkan panggung kesempatan calon pemimpin untuk bersaing karena lebih suka menandingkan jagonya melawan ”kotak kosong”? 

Sungguh ini adalah ironi. Apakah pantas ini ada dalam demokrasi? Bukankah bila partai-partai itu berkoalisi gemuk dan besar (tanpa ada sisa lagi) seharusnya bisa juga meminta masukan publik, melakukan jajak pendapat, penyaringan, dan lain sebagainya untuk mengajukan alternatif calon agar lebih dari satu pasang sekalipun nanti tetap diusung koalisi yang sama? 

Haramkah cara seperti itu? Haramkah untuk mengajak publik terlibat langsung dalam pencalonan sehingga sekarang semua calon harus diputuskan sendiri oleh elite-elite partai politik dan rakyat tinggal take it or leave it? Lebih elegan manakah, kotak kosong dibanding dengan melibatkan publik, agar mengajukan calon alternatif untuk bersaing memilih yang terbaik?

Saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab, kita semua tentu paham esensi dan adab demokrasi. Juga, paham bahwa demokrasi itu terus-menerus berproses. Mungkin saja ke depan akan ada evaluasi. 

Yang penting, jangan lelah, apalagi menyerah, dalam menegakkan demokrasi dan melawan segala yang anti-check and balances, melawan siapa pun yang antimeritokrasi dan gemar melestarikan nepotisme.   

Kategori :