GEMPITA politik lokal pilkada telah usai. Suasana batin gembira dan sedih mengiringinya. Semua itu adalah senda gurau politik, seperti permainan di papan catur yang bisa diulang kembali pada saatnya nanti.
Bagi yang menang, bergembiralah secukupnya. Bagi yang kalah, juga bersedihlah secukupnya saja. Masih ada hari esok, dalam berkompetisi bisa menang dan bisa kalah, di politik bisa mati dan hidup kembali berkali-kali.
Jika masih tidak puas, pilihlah salurannya untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Belajarlah dari Presiden Prabowo Subianto, lima kali pertarungan pilpres, baru terpilih 2024 ini. Jejak pertarungan politik Prabowo dimulai sejak 2004, saat itu ikut konvensi capres Partai Golkar yang dimenangkan Jenderal Wiranto.
Maka, Wiranto yang berhak diusung Partai Golkar saat itu ikut Pilpres 2004, yang akhirnya pilpres dimenangkan pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang beken dengan sebutan SBY-JK.
Pilpres 2009 Prabowo benar-benar turun gelanggang politik lagi, bertarung sebagai calon wakil presiden. Ia berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri.
Pilpres 2014, Prabowo bertarung lagi melawan orang yang dibawanya dari Solo untuk menjadi gubernur DKI Jakarta, yakni Joko Widodo.
Lalu, 2019 bertarung lagi dengan Presiden Petahana Joko Widodo. Semua pertarungan Pilpres sejak 2004 hingga 2019 kalah bersaing.
Namun, tidak patah semangat, baru Pilpres 2024 ini, ia terpilih sebagai presiden Republik Indonesia. Sungguh petarung politik sejati sebagai kesatria yang berlatar perwira.
Winston Churchill (Inggris, 1874–1965) membenarkan ikhtiar Prabowo di atas, sebagaimana pendapatnya, ”Dalam perang, mati hanya sekali. Tetapi dalam politik, bisa dibunuh berkali-kali.” Begitulah pertarungan politik.
Maka, jika dalam pilkada ini belum beruntung, tetaplah semangat menyongsong pertarungan politik lokal berikutnya.
REKONSILIASI
Politik itu berbeda dengan dendam, berbeda juga dengan kebengisan, apalagi dengan kekerasan (violence).
Politik itu kehormatan, kebermartabatan, kebajikan, untuk memikirkan dan menyelesaikan problem-problem kemanusiaan. Dari politiklah pengabdian kemanusiaan bisa diwujudkan dengan keseksamaan.
Kalaupun politik dalam memperebutkan kekuasaan itu tampak keras, kejam, dan konflik, sejatinya itu bukan diletakkan dalam makna politik itu sendiri, melainkan warna kompetisi politik dalam memperebutkan kekuasaan yang lebih didominasi oleh ”budaya tanding”.