Bisa jadi, realitas di lapangan tidak bukan Yos Suprapto dan Sukatani yang menjadi korban. Kita tidak tahu sudah berapa kasus pemberedelan budaya yang dilancarkan tetapi tidak mendapat atensi di media sosial.
Bisa dibayangkan, bagaimana bila kasus Yos Suprapto dan Sukatani tidak sempat disuarakan warganet? Apakah pembungkaman akan makin mulus dan tak terkalahkan?
MUNCULNYA SWASENSOR DAN MATINYA KRITIK DALAM SENI
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana pemberedelan itu menciptakan efek psikologis di kalangan seniman dan intelektual. Seniman menjadi lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan politis.
Bukan karena mereka kehilangan kreativitas, melainkan karena mereka menyadari risiko yang bisa muncul. Itu adalah fenomena swasensor, yakni ketika seniman memilih untuk menghindari tema-tema sensitif demi menghindari risiko.
Akibatnya, dunia seni kita kehilangan keberanian untuk berbicara lantang. Seni yang seharusnya menjadi medium refleksi sosial dan politik berubah menjadi sesuatu yang jinak dan serbaaman.
Fenomena itu bukan hanya persoalan seniman dan musisi. Ketika ekspresi kreatif dikontrol, kita semua kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan cara yang lebih reflektif dan artistik.
Masyarakat kehilangan akses terhadap narasi alternatif yang mungkin bisa memperkaya pemahaman kita tentang realitas sosial. Saat kritik sosial yang seharusnya dapat diakses publik mulai dihilangkan dari ruang seni, yang tersisa hanyalah narasi yang dikendalikan pihak berkuasa.
Tanpa kritik, tanpa refleksi, masyarakat hanya akan disuguhkan realitas yang dikemas sesuai kepentingan tertentu.
Pada akhirnya, pemberedelan budaya bukan hanya tentang seniman yang dibungkam, melainkan juga tentang publik yang kehilangan kesempatan untuk mendengar suara-suara yang berani.
PERLUKAH KITA PEDULI?
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa ini hanya perkara kecil: hanya sebuah lukisan, hanya sebuah lagu. Namun, jika dibiarkan, itu bisa menjadi preseden yang makin menguatkan tren pembungkaman.
Hari ini yang diberangus adalah seni. Besok bisa jadi media, akademisi, atau bahkan suara rakyat secara keseluruhan.
Jika pemerintah dan institusi negara benar-benar percaya kepada demokrasi, kebebasan berekspresi seharusnya dijamin, bukan malah ditekan. Justru seni yang kritis harus dilihat sebagai bagian dari diskursus publik yang sehat, bukan sebagai ancaman.
Maka, pertanyaannya kini bukan lagi tentang siapa yang dibungkam hari ini, melainkan sampai kapan kita akan terus membiarkan ini terjadi? Apakah kita akan membiarkan demokrasi kita jatuh ke dalam jurang kepalsuan di mana kritik hanya boleh disuarakan dengan cara yang sudah disetujui pihak berwenang?
MENOLAK NORMALISASI PEMBEREDELAN, JALANKAN DEMOKRATISASI BUDAYA