Budaya Asal Terima: Pembangunan Top-Down yang Melemahkan Kesadaran Kritis

Rabu 16-04-2025,11:17 WIB
Reporter : Annisa Maulidina Haqi*
Editor : Heti Palestina Yunani

BACA JUGA: Tok! Komisi I DPR RI Setujui RUU TNI Dibawa ke Sidang Paripurna

Suara yang seharusnya mencerminkan aspirasi dan harapan warga berubah menjadi angka artifisial dalam hitung-hitungan politik.

Akumulasi praktik politik uang dan bingkisan gratis demi dukungan politik membawa dampak serius bagi demokrasi. Pertama, legitimasi kebijakan publik menjadi rapuh.

Dukungan besar yang tampak hanyalah hasil transaksi materi, bukan cerminan pemahaman atau persetujuan sadar warga. Kedua, proses pembuatan kebijakan bergeser dari ranah rasional dan berbasis argumen ke ranah tawar-menawar insentif.

BACA JUGA: Jelang Masa Tenang, Khofifah: Kawal TPS, Hati-hati Serangan Fajar!

Kebijakan pun cenderung populis dan dangkal, mengejar popularitas jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan kepentingan publik yang lebih luas.

Ketiga, budaya “asal terima” mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Ketika warga sadar bahwa suara mereka “dibeli”, kekecewaan dan apati politik kian merajalela, memunculkan sikap sinis—bahwa politik hanyalah soal uang.

Lebih jauh lagi, budaya asal terima berakar pada ketimpangan struktural yang masih menganga. Data Badan Pusat Statistik mencatat persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 8,57 persen, atau setara 24,06 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.

BACA JUGA: Serangan Fajar, KPK OTT Hakim, Panitera, dan Pengacara di Surabaya

Ketika jutaan warga bergulat dengan persoalan dasar, tawaran sembako atau uang tunai—betapa pun kecilnya—bagaikan oase di padang gersang.

Ketimpangan akses pendidikan politik, minimnya literasi media, dan kesenjangan informasi antarwilayah semakin memperkuat kecenderungan warga untuk menukarkan suara dengan imbalan instan.

Dampak jangka panjang budaya asal terima tidak hanya pada legitimasi kebijakan, tetapi juga pada kualitas demokrasi dan pembangunan budaya kritis.
Dampak jangka panjang budaya asal terima tidak hanya pada legitimasi kebijakan, tetapi juga pada kualitas demokrasi dan pembangunan budaya kritis. --iStockphoto

BACA JUGA: Sidang Perdana Hasto Kristiyanto, Didakwa Suap dan Perintangan Penyidikan KPK

Ketika rakyat terbiasa menerima tanpa menilai, ruang publik menyempit, dialog hilang, dan kebijakan publik menjadi instrumen pertukaran barang.

Sikap apatis ini juga memicu eksklusi politik: mereka yang menolak uang politik atau sembako dipandang naif atau tidak pragmatis, sehingga tekanan sosial memaksa banyak orang untuk “ikut arus”.

Ironisnya, korban utama adalah masyarakat sendiri—yang kehilangan kemampuan menuntut kebijakan berkualitas dan akuntabel.

Kategori :