Saya lebih mengenal kakak kandung Hasanudin Ali. Namanya Kholili Indro. Kini sudah almarhum. Ia salah seorang redaktur olahraga Jawa Pos semasa hidup. Juga, saat saya menjadi pemimpin redaksi koran terbesar kedua di Indonesia setelah harian Kompas.
Kholili juga sangat terkenal menyukai data. Ia ahli dalam membuat klasemen berita-berita sepak bola. Ia seperti perpustakaan berjalan soal sepak bola nasional maupun dunia. Karena itu, Jawa Pos ketika itu selalu unggul dalam pemberitaan sepak bolanya.
Hasanudin mengaku tertarik dengan angka. Bahkan, sejak kecil ia sudah suka dengan matematika. ”Pada akhirnya, ketika kuliah mengerti bahwa angka dan data adalah media paling mudah untuk bisa menjelaskan berbagai fenomena yang ada di dunia ini,” katanya.
BACA JUGA:Longsor Hantam Pesantren di Magelang, 4 Santri Gontor Meninggal Dunia
BACA JUGA:Tarung Antarsantri, Satu Tewas
Tahun ini Alvara yang didirikan dan dipimpinnya telah berusia 13 tahun. Itu bukan perjalanan pendek. Sebuah perjalanan panjang untuk sebuah lembaga riset dalam menjaga kredibilitas dan independensi.
Dengan begitu, hasil risetnya mampu menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan, pelaku bisnis, dan masyarakat luas.
Ia bersyukur lantaran sampai kini kepercayaan terus mengalir. Oleh karena itu, Alvara kini menjadi langganan berbagai pihak untuk melakukan riset. Mulai lembaga kementerian, lembaga negara, korporasi nasional maupun internasional, media, hingga masyarakat umum.
BACA JUGA:Menag Tinjau Simulasi Makan Bergizi Gratis untuk Santri, Pastikan Kesetaraan
BACA JUGA:Kiai di Trenggalek Dipenjara 14 Tahun, Kasus Hamili Santriwati di Bawah Umur
Baginya, kepercayaan itu menjadi energi baru untuk menjaga kredibilitas dan independensi lembaga risetnya. ”Kepercayaan itu menjadi energi bagi kami untuk terus menjaga integritas, meningkatkan metodologi, dan memperluas jejaring untuk terus membersamai setiap pengambil keputusan,” tambahnya.
Rasanya, ia kini bisa mendapat julukan santri data. Santri yang menguasai seluk-beluk tentang riset dan mumpuni dalam analisis data. Bahkan, karena keahlian atau kealimannya tentang angka dan data, ia sudah bisa disebut sebagai ulama. Atau, kiainya data dan statistika.
Karena keahliannya itulah, ia sempat menjadi staf khusus menteri agama. Melalui kehaliannya itu, ia sempat mewarnai kebijakan-kebijakan kementerian tersebut dengan basis data yang kuat. Mengangkat kementerian tersebut menjadi lebih populer dan memberikan wajah baru kementerian yang mengurus masalah keagamaan itu.
Ia pun tak pernah menanggalkan identitasnya sebagai santri. Juga, sebagai seorang aktivis Gerakan Pemuda Ansor. Hasanudin Ali menjadi salah satu generasi baru NU yang berkiprah di dunia profesional tanpa meninggalkan identitas ke-NU-annya. Sesuatu yang menjadi jalan baru bagi banyak santri di Indonesia.
Kalau dalam urusan keagamaan banyak santri yang menekuni ilmu hisab untuk penentuan hari besar Islam, ia menjadi ahli hisab untuk urusan sosial, ekonomi, dan politik. Yang menggembirakan, berbagai risetnya telah menjadi referensi tidak hanya di Indonesia, tapi juga dilirik lembaga luar negeri. (*)