Reposisi Surabaya

Selasa 13-05-2025,22:39 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Posisi Surabaya sebagai gerbang perdagangan dan pemasok berbagai kebutuhan Indonesia Timur bisa terancam. Di sanalah pentingnya kota yang sudah berusia 7 abad lebih ini melakukan reposisi dan reorientasi. 

Tidak hanya mempertahankan posisi sebagai gerbang dan pusat perdagangan. Tapi, harus melangkah ke depan. Biar tak ketinggalan dengan pusat grafitasi ekonomi baru nasional. Perlu sebuah lompatan-lompatan. Bukan sekadar perubahan yang gradual, apalagi yang natural.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji pasti telah memikirkan dan memitigasi perubahan-perubahan baru itu. Pasti sudah mengantisipasi begitu geoekonomi Indonesia mulai bergeser dari barat ke timur. Ketika pusat adminsitrasi pemerintahan tak lagi ada di Jakarta.

BACA JUGA:Surabaya, Kota Revolusi dan Jebakan Rutinitas

BACA JUGA:Poesoera: Catatan tentang Organisasi Pergerakan Rakyat Surabaya

Orientasi baru itu tak hanya untuk mengejar ketertinggalan dari Jakarta. Tapi, juga bagaimana menjadikan Surabaya sebagai pusat grafitasi ekonomi dan bisnis baru dalam lanskap nasional yang bergeser. Ia harus bersinergi dengan Pemprov Jatim yang menjadikan kota ini sebagai ibu kotanya.

Semuanya sudah tahu bahwa sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya telah lama memainkan peran sebagai pusat perdagangan, industri, dan jasa. Pelabuhan Tanjung Perak, kawasan industri di Rungkut dan Margomulyo, serta keberadaan perguruan tinggi ternama menjadikan kota ini sebagai magnet ekonomi yang kuat. 

Hadirnya IKN di Kalimantan Timur, posisi itu kini berada dalam kontestasi dengan poros-poros ekonomi baru. Yang pasti, akan bermunculan di sekitar ibu kota negara baru. Apalagi, dengan hadirnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dunia. Yang dalam percaturan dunia, kekuatannya tak lagi bisa diremehkan. 

BACA JUGA:Kota Lama di Surabaya, Sekadar Fenomena Hit ataukah Landmark Kota?

BACA JUGA:Surabaya Menuju Ekonomi Hijau

Dalam konteks geoekonomi baru, Surabaya harus bersikap adaptif. Kota ini tidak boleh hanya menjadi ”penonton” atau simpul transit antara barat dan timur. Ia harus bertransformasi menjadi hub logistik, teknologi, dan ekonomi kreatif yang menjembatani dinamika antara Jawa dan Kalimantan.

Poros apa saja yang bisa diarahkan secara serius dalam reposisi tersebut? 

Pertama, penguatan fungsi logistik dan maritim. Surabaya sudah perlu memperkuat perannya sebagai pusat logistik yang terintegrasi dengan pelabuhan bertaraf internasional.

Soal itu, pemerintah Surabaya perlu bersinergi lebih kuat dengan Pelindo sebagai operator pelabuhan terbesar di Indonesia. Pengembangan konektivitas laut dan darat, digitalisasi pelabuhan, serta efisiensi rantai pasok akan meningkatkan daya saing kota ini dalam mendukung distribusi barang ke dan dari IKN.

Kedua, transformasi ekonomi inklusif berbasis inovasi. Surabaya perlu mengurangi ketergantungan kepada sektor manufaktur tradisional dengan mengembangkan ekonomi digital, startup, dan teknologi hijau. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada generasi muda, kampus, dan ekosistem yang terus tumbuh.

Kelompok-kelompok kreatif sudah saatnya lebih memberikan ruang terbuka kepada hadrinya pemain-pemain baru. Sebab, selama ini dunia kreatif di Surabaya masih tertinggal dari kota lain justru karena sikap tertutup kelompok kreatif terhadap hadirnya kelompok-kelompok baru. Pemerintah perlu mendukung melalui penyediaan sarana dan prasarana yang berkelas.

Kategori :