Tugas Danantara yang rencananya diluncurkan pada 24 Februari 2025 adalah mengelola semua aset BUMN, termasuk dividen yang selama ini menjadi penerimaan negara bukan pajak dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Tahun 2024, setoran dividen 65 BUMN ke kas negara sebesar Rp 85,5 triliun dari Rp 10.402 triliun aset yang mereka kelola. Jumlah itu akan masuk kas Danantara dan diberdayakan menjadi lokomotif investasi.
Pemerintahan Prabowo mengeklaim, dividen dari perusahaan milik negara itu akan dikembangkan hingga jumlahnya terus menggelembung yang pada akhirnya makin memperkuat struktur keuangan negara tanpa mengusik APBN.
Status Danantara membuat perusahaan-perusahaan yang dikelola bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan. Skema pengelolaan kekayaan negara melalui model itu meneguhkan Prabowo sebagai penerus mazhab state capitalism sang ayahandanya.
Melanjutkan mimpi ayahnya, Prof Sumitro Djojohadikoesoemo, sebagai peletak dasar terbentuknya lembaga pengelola dana investasi di era Orde Baru dengan mengutip keuntungan 1 persen hingga 5 persen keuntungan BUMN untuk dikelola.
Meskipun gagal karena konsepnya ditolak menteri keuangan di saat itu, J.B. Sumarlin, pada 1980-an, gagasan tersebut disampaikan kepada pemerintah Malaysia yang berbuah Khazanah Nasional Berhad, sebuah lembaga SWF yang dibentuk pada 1993.
Dalam Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo menyingkap adanya fakta bahwa kekayaan Indonesia banyak lari ke luar negeri lantaran sumber daya alam tidak dikelola perusahaan negara dengan tata kelola yang baik.
Dalam kapitalisme neoliberal yang ia pahami, ada prinsip trickle down effect, yakni kesejahteraan yang menetes dari atas ke bawah. Kesejahteraan hanya diperoleh minoritas di atas dan sebaliknya mayoritas di bawah bakal mendapat tetesan kesejahteraan dari atas.
Namun, Prabowo menyebutkan, model kapitalisme neoliberal diakuinya sebagai model yang gagal dalam mendongkrak kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, Prabowo terpesona oleh berbagai terobosan pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping dalam memimpin gerakan reformasi Tiongkok pada 1978–1989 dengan membentuk 150 ribu BUMN yang mengelola sumber daya alam mereka.
Maka, solusi yang ditawarkan agar Indonesia bisa mengadopsi pertumbuhan ekonomi Tiongkok adalah menerapkan kapitalisme negara melalui BUMN. Cara berikutnya adalah mengubah sistem politik melalui demokrasi Pancasila tanpa pemilihan langsung.
Ketika naik ke tampuk kekuasaan, gagasan pemikiran itu pun dieksekusinya dengan membentuk lembaga SWF. Dan, Danantara adalah kapitalisme negara ala pemerintahan Prabowo.
Ambisi Prabowo dalam mengorkestrasi kekuatan dan sumber daya ekonomi tidak berhenti pada Danantara, tetapi juga penguatan basis ekonomi melalui pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
Gebrakan pemerintah dengan membangun Kopdes Merah Putih di 70.000 hingga 80.000 desa yang tersebar di seluruh pelosok negeri diharapkan mampu menjelma sebagai bagian dari instrumen kutub pertumbuhan ekonomi yang menyokong ambisi besar Prabowo, yakni mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Di samping itu, pembentukan kopdes tersebut sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Koperasi diharapkan dapat berperan aktif dalam pengembangan industri agromaritim dan swasembada pangan. Oleh karena itu, pengembangannya dapat diarahkan pada sektor-sektor produktif strategis.
Sumber pendanaan bagi Kopdes Merah Putih bersumber dari dana perbankan BUMN (Bank Himbara) masing-masing sebesar Rp 3 miliar hingga Rp 5 miliar per unit koperasi.