Dua, agen refleks berbasis model (memahami kondisi sekitar).
Tiga, agen berbasis tujuan (berorientasi hasil).
Empat, agen berbasis utilitas (mengoptimalkan pilihan terbaik).
Lima, agen pembelajaran (belajar dan berkembang dari pengalaman).
BACA JUGA:Kecerdasan Buatan Munculkan Kekhawatiran, Manusia akan Punah…?
BACA JUGA:Google Luncurkan Bard, Kecerdasan Buatan Pesaing ChatGPT
Bayangkan, AI yang bisa membantu Anda mengelola bisnis kopi: dari mengecek stok, membaca emosi pelanggan, menganalisis tren, hingga memberikan rekomendasi harga dan promosi. Itulah agentic AI: bukan hanya asisten, melainkan juga rekan kerja digital yang adaptif dan otonom.
Kedua, mengadopsi AI secara bertanggung jawab.
Adopsi AI perlu kita lihat sebagai perjalanan kesadaran, bukan sekadar adopsi teknologi. Ada tiga fase utama.
Satu, manusia dengan AI sebagai asisten –kita mengendalikan, AI membantu.
Dua, manusia dengan AI sebagai agen bersama –AI mulai membuat keputusan dalam batas yang disepakati.
Tiga, manusia digantikan AI sepenuhnya –situasi ini kontroversial dan perlu etika serta regulasi yang kuat.
BACA JUGA:Pameran Kecerdasan Buatan, Wajah Masa Depan di Shanghai
BACA JUGA:Ketika Jurnalis Digantikan Kecerdasan Buatan
Dalam konteks ini, pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana menciptakan agentic AI yang bertanggung jawab?
Jawabannya ada pada prinsip-prinsip responsible AI. Yakni, transparansi, keadilan, akuntabilitas, keamanan data, dan keberpihakan pada kemanusiaan.