Uji Materi Pasal 21 UU Tipikor: DPR Dukung Hasto, Pemerintah Tegas Menolak

Kamis 02-10-2025,12:48 WIB
Reporter : Septadera Candra Purnama*
Editor : Mohamad Nur Khotib

Dengan adanya perbedaan ancaman hukuman antara perbuatan substantif dan perbuatan ikutannya, maka sesungguhnya pasal ini menyebabkan terjadinya disparitas yang tidak adil.

Sehingga, DPR mengusulkan agar hukuman obstruction of justice mengikuti asas proporsionalitas. Artinya, tidak boleh lebih berat dari tindak pidana pokoknya atau korupsi.

BACA JUGA:KPK Serahkan Berkas Perkara Suap Hasto Kristiyanto ke Pengadilan Tipikor Jakarta

Sebagai perbandingan, di sejumlah negara seperti Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan AS, hukuman obstruction of justice jauh lebih ringan daripada pidana korupsi utama.

Sebagaimana diketahui, anacaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 21 UU PTPK adalah minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, dengan denda paling singkat Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Oleh sebab itu, DPR meminta MK agar Pasal 21 dinyatakan inkonstitusional bila tidak dimaknai ulang. DPR mengusulkan agar pasal tersebut hanya berlaku untuk tindakan perintangan yang jelas.

Yakni seperti kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, atau janji memberi keuntungan, dengan ancaman hukuman lebih ringan maksimal 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta–Rp600 juta.

BACA JUGA:Tersangka Korupsi Wamenaker Berharap Amnesti Prabowo: Kalau Hasto Bisa, Mengapa…

Sementara itu, pemerintah melalui Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dalam keterangannya yang dibacakan oleh Eben Ezer, berpendapat bahwa Hasto tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji pasal tersebut.

Sebab, masalah yang dikemukakan itu berasal dari tindakan aparat hukum, bukan dari norma Pasal 21 itu sendiri.

Pemerintah menegaskan Pasal 21 diebntuk untuk melindungi proses hukum dari sabotase. Pasal ini juga sejalan dengan ketentuan UNCAC (Konvensi PBB Antikorupsi) dan sudah ada sejak KUHP lama (WvS), UU 3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor, hingga KUHP baru (UU 1/2023). 

Bahkan, pemerintah mencontohkan kasus obstruction of justice yang marak terjadi di Indonesia. Seperti Anggodo Wijoyo pada 2010, Setya Novanto, hingga Didit Wijaya terkait kasus LPEI yang melibatkan perintangan penyidikan pada 2013-2019.

BACA JUGA:Kemenkum Tetapkan Kepengurusan PDIP 2025-2030, Megawati Masih Ketum, Hasto Jadi Sekjen

Pemerintah menolak usulan DPR dan pemohon yang ingin mempersempit makna obstruction of justice. Karena, menurut pemerintah, korupsi adalah serious crime dengan modus yang semakin beragam. Jika aturan diperlonggar, maka akan ada celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum.

“Pemerintah menegaskan, perkembangan modus operandi korupsi justru menuntut perlindungan yang luas terhadap peradilan pada setiap tahap, termasuk tindakan yang dilakukan melalui perantara atau teknik terselubung,” kata Eben Ezer.

Atas dasar itu, pemerintah meminta MK menolak permohonan uji materi Pasal 21. Menurut pemerintah, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari pasal tersebut .

Kategori :