Redenominasi Rupiah, demi Gengsi atau Jalan Pintas Stabilitas Moneter?

Senin 24-11-2025,05:33 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Sepanjang tahun 2025, mata uang rupiah mengalami depresiasi sebesar 5,5 persen, sangat riskan memperbesar tantangan dan berdampak signifikan pada pasar modal, inflasi, serta daya beli masyarakat. 

Penanganan kebijakan fiskal dan sosialisasi yang cermat sangat penting untuk memitigasi dampak negatif yang disebabkan redenominasi. 

Pemahaman akan dampak serta risiko finansial dari langkah itu sangat krusial agar tidak terlalu menimbulkan gejolak implikatif di pasar keuangan Indonesia. Di samping itu, tren depresiasi yang terjadi juga menimbulkan keresahan tersendiri terkait stabilitas nilai tukar rupiah serta daya beli masyarakat yang masih dalam tekanan pelemahan. 

Meski redenominasi memiliki tujuan yang baik, banyak pihak menyarankan agar pemerintah memberikan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat terkait. Sebab, masih banyak kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa redenominasi sama dengan sanering.

PENTINGNYA MENGELOLA PERSEPSI

Pemerintah menargetkan penyusunan kerangka regulasi redenominasi rampung sekitar 2026–2027. Namun, pelaksanaannya menuntut kesiapan di banyak aspek, mulai fiskal, moneter, teknis, hingga kesiapan psikologis masyarakat. 

Faktor itu sangat penting karena tidak semua elemen atau kelompok masyarakat memiliki kesamaan persepsi bagaimana mekanisme redenominasi itu bekerja. 

Sosialisasi wacana redenominasi dan program mitigasi terhadap imbas kebijakan tersebut penting untuk dipertimbangkan. Dari kesiapan aspek fundamental seperti kondisi makro ekonomi. 

Dengan berbagai indikator ekonomi global yang belakangan masih digelayuti mendung tebal perang tarif Tiongkok-Amerika Serikat (AS), pemerintah perlu mempertimbangkan kembali urgensi penerapan redenominasi rupiah meski secara makro situasi ekonomi Indonesia dinilai cukup mendukung. 

Inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Oktober 2025 berada di 2,86 persen (YoY), level yang relatif memberikan rasa aman untuk kebijakan dengan sensitivitas psikologis tinggi. 

Berdasar proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025–2026 diperkirakan di kisaran angka 4,9 persen, dengan inflasi tetap rendah. 

Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di kisaran 40 persen, jauh dari batas risiko global, meski angka debt service ratio (DSR)-nya telah mencapai sekitar 40 persen. 

Dengan demikian, kondisi tersebut dianggap bisa menyajikan ruang fleksibel bagi pemerintah untuk mempertimbangkan redenominasi tanpa tekanan makro yang berat. Namun, dari perspektif makroekonomi, terdapat argumentasi kuat bahwa kebijakan redenominasi kurang memiliki urgensi dalam jangka pendek kecuali sebaliknya. 

Mengapa demikian? Pertama, rupiah dengan nominal besar menciptakan kompleksitas transaksi, memperlambat proses pembayaran, dan meningkatkan risiko kesalahan hitung. 

Dalam konteks digitalisasi ekonomi yang inklusif, angka nominal besar juga menambah beban sistem pembayaran dan memperpanjang proses pencatatan transaksi. 

Kedua, nominal besar sangat riskan menimbulkan distorsi persepsi nilai. Misalnya, harga Rp25.000 yang secara psikologis dianggap murah berpeluang menciptakan bias persepsi inflasi. 

Kategori :