Di sana para dokter militer tidak hanya mengobati luka fisik atau sesak napas akibat abu, tetapi juga memberikan layanan pemulihan trauma bagi anak-anak, memulihkan senyum yang sempat hilang tertutup debu vulkanik.
Bergeser ke wilayah barat, tantangan yang dihadapi berbeda, tetapi tak kalah mematikan. Banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh telah menciptakan pulau-pulau isolasi baru di daratan.
Wilayah pedalaman seperti Desa Sihaporas terkurung total karena jembatan putus dan jalan tertutup lumpur setinggi atap. Di sanalah Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad) menunjukkan taring kemanusiaannya.
BACA JUGA:Revisi UU TNI: Modernisasi atau Ancaman bagi Demokrasi?
BACA JUGA:UU TNI, RUU Polri, dan Kegelisahan Sipil Merawat Demokrasi
TNI-AD mengerahkan helikopter angkut berat Mi 17 V5 dan helikopter serbaguna Bell 412. Perjalanan mesin-mesin besi itu adalah sebuah epik karena mereka diterbangkan secara estafet dari pangkalan di Semarang, Jawa Tengah, menyinggahi Pondok Cabe, Palembang, Jambi, hingga akhirnya tiba di garis depan bencana di Sumatera.
Kisah di balik kokpit helikopter itu sering kali luput dari sorotan kamera berita. Para pilot TNI-AD tersebut harus bertarung melawan musuh yang tak terlihat, tetapi mematikan, yaitu cuaca buruk.
Laporan lapangan mencatat bagaimana penerbang harus berhadapan dengan dinding awan tebal yang menghalangi pandangan. Dengan jarak pandang mendekati nol, mereka bermanuver mencari celah sempit di antara Pegunungan Bukit Barisan demi mencapai titik pendaratan yang sering kali hanyalah sepetak tanah becek di tepi sungai.
BACA JUGA:Revisi UU TNI Indikasi Perampasan Supremasi Sipil
BACA JUGA:Pro-Kontra UU TNI: Menelaah Peran Militer dalam Politik dan Sosial Indonesia
Mereka tidak bisa mendarat di lapangan sekolah karena risiko embusan angin baling-baling dapat merobohkan atap rumah warga yang sudah rapuh. Keputusan detik demi detik itu diambil dengan mempertimbangkan satu hal utama, yaitu keselamatan warga yang menunggu bantuan.
Keberanian itu membuktikan bahwa heroisme masa kini tidak selalu tentang memegang senjata, tetapi tentang memegang kendali pesawat di tengah badai demi mengantar sekarung beras atau mengevakuasi seorang ibu hamil.
Tidak ketinggalan, TNI Angkatan Laut juga memainkan peran strategis melalui sinergi kekuatan laut dan udara. Dalam penanganan erupsi Lewotobi dan bencana di pesisir lainnya, helikopter TNI AL seperti AS565 MBe Panther yang biasanya bertugas memburu kapal selam kini disiagakan untuk evakuasi medis udara.
Kemampuan mereka untuk beroperasi dari atas geladak Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) memberikan fleksibilitas luar biasa. Jika jalur darat putus dan bandara lumpuh, TNI-AL dapat mendekati lokasi bencana dari laut lalu meluncurkan helikopter untuk menjemput korban kritis dan membawanya ke fasilitas medis terapung atau rumah sakit rujukan.
Itu adalah konsep operasi amfibi yang diaplikasikan untuk kemanusiaan, memastikan tidak ada korban yang tertinggal hanya karena lokasi mereka sulit dijangkau.
Selain operasi fisik, teknologi tinggi juga diterapkan untuk mencegah bencana bertambah parah. TNI-AU bekerja sama dengan badan riset nasional dan BMKG untuk menggelar operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC).