Bintang Terakhir Angkatan ’45

Bintang Terakhir Angkatan ’45

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

 

NAMA jenderal satu ini tentu asing di telinga generasi sekarang. Apalagi di kuping milenial. Sebagai petinggi militer, namanya sudah terlalu lama tak terdengar. Padahal, di eranya, ia termasuk perwira tinggi yang kariernya moncer.

Jenderal Widjojo Soejono. Namanya masih ejaan lama. Dibaca: Wijoyo Suyono. Pada 11 Mei 2022, ia tutup usia. Umur 93 tahun.

Saya pun tertarik untuk membangun memori kolektif tentang jenderal satu ini. Ia adalah generasi terakhir jenderal produk angkatan ’45. Generasi yang sudah memanggul senjata sebelum TNI berdiri.

Hingga 2021 awal, ada tiga jenderal angkatan ’45 yang masih tersisa. Letjen (pur) Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen (pur) Rais Abin, dan Widjojo Soejono. Ketiganya dikenal dengan keahlian berbeda.

Sayidiman seorang jenderal intelektual. Pernah menjabat gubernur Lemhannas  (19741978). Juga, sempat menjabat duta besar untuk Jepang. Di era 19801990-an selalu menjadi rujukan media dan kampus bila berbicara profesional militer dan kebangsaan.

Rais Abin sering dijuluki jenderal diplomat. Berkali-kali memimpin pasukan misi perdamaian PBB. Sempat juga mengisi pos duta besar di Malaysia dan Singapura. Rais Abin juga pernah menjabat Sekjen Gerakan Non-Blok.

Sedangkan Soejono dikenal sebagai jenderal tempur.

Sayidiman (93 tahun) tutup usia 16 Januari 2021. Rais Abin menyusul sahabatnya itu di usia 94 tahun pada 25 Maret di tahun yang sama. Dan Widjojo,  jenderal terakhir generasi angkatan ’45, kini menyusul para sahabatnya.

Karier militer Widjojo diawali dari Jawa Timur. Tokoh kelahiran Tulungagung, 9 Mei 1928, tersebut kala itu era pendudukan Jepang, awal 1945 menjadi siswa sekolah teknik bernama KES. Cikal bakal SMK 1 Surabaya.

Ketika mendengar pembukaan Peta (Pembela Tanah Air), organisasi militer yang dibentuk Jepang, Widjojo muda memilih kabur meninggalkan sekolah tekniknya. Ia mendaftar sekolah militer perwira muda yang dipusatkan di Bogor itu.

Tergolong nekat. Syaratnya 18 tahun. Usia masih 17 tahun. Widjojo pun menambah usianya satu tahun agar diterima. Lolos. Kala itu tentu administratif belum seperti sekarang. Bahkan, di era kemerdekaan, pangkat saja bisa turun naik secepat kilat.

Seusai pendidikan tiga bulan itu, Widjojo meraih pangkat shodancho. Setara perwira pertama. Letnan dua.  Tugas awal di Batalyon 4  Keresidenan Malang.

Begitu kemerdekaan dikumandangkan, para pasukan Peta melebur menjadi BKR yang menjadi embrio TNI. Widjojo bergabung di BKR Surabaya di HBS Straat. Kini Jalan Wijaya Kusuma. Ia pun menjadi tulung punggung Divisi VI Narotama yang legendaris itu. Yang menjadi benteng Surabaya saat perang kemerdekaan.

Widjojo juga melengkapi kemampuan militernya di Amerika Serikat. Tugas belajar di US Army Command & General Staff College, Fort Leaven Worth. Semacam Sesko atau Seskoad. Lepas dari sini, prajurit yang menghabiskan tugasnya sebagai perwira muda di Surabaya tersebut, kariernya melejit.

Makin dikenal ketika menjabat komandan Puspassus AD. Pasukan elite TNI-AD. Sebelumnya bernama RPKAD. Kesatuan itu juga pernah bernama Kopassandha. Dan kini pasukan bergengsi tersebut bernama Kopassus.

Widjojo menjadi komandan Puspassus di awal Orde Baru (1967–1970). Ia menggantikan Kolonel Sarwo Edi Wibowo. Hanya prajurit andal yang menempati pos komandan pasukan para komando.

Dua kali menjabat panglima kodam. Yakni, Pangdam Merdeka, Sulawesi Utara (19701971), dan Pangdam Brawijaya (19711975). Mendapat tugas di Jatim, Widjojo seperti pulang kampung. Sebab, dari sana karier militernya dirintis. Malang dan Surabaya.

Dari rekan-rekanya sesama angkatan ’45, ia bisa dibilang salah satu yang istimewa. Sebab, Widjojo mencapai bintang empat. Jenderal penuh.

Ia mendapat jenderal bintang empat saat dipercaya sebagai kepala staf Kopkamtib (1980–1982). Berduet dengan Laksamana Soedomo yang menjabat panglima Kopkamtib. Lembaga itulah yang menjadi alat untuk mengamankan pemerintah Soeharto. Termasuk untuk meredam kelompok yang dianggap radikal dan dinilai berbau subversif.

Kopkamtib sempat berubah nama menjadi Bakostranas. Sangat ”diwaspadai” para aktivis. Pasalnya, lembaga itulah yang mewaspadai aktivis. Di era reformasi, lembaga tersebut dilikuidasi.

Widjojo hanya dua tahun di Kopkamtib. Itu pun jadi ujung kariernya di militer.

Selepas di militer, Widjojo melanjutkan pengabdiannya di dunia olahraga. Sempat menjadi ketua PORKI yang kini menjadi FORKI (Federasi Olahraga Karate-do Indonesia).

Di kalangan komunitas tenis, ia juga mencurahkan tenaga dan pikirannya. Rutin menyelenggarakan Piala Widjojo Sudjono. Level internasional.

KONI mengapresiasi pengabdiannya dengan penghargaan KONI Lifetime Achievment in Sports.  Penghargaan itu diberikan tahun lalu. Sebuah penghargaan istimewa di ujung pengabdian.

Selamat jalan, jenderal. (*)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: