Dutch East Indische Tidak Ada di Buku Pelajaran Belanda

Dutch East Indische Tidak Ada di Buku Pelajaran Belanda

Sejak SD kita diajarkan bahwa Belanda melancarkan Agresi Militer (1945-1949) untuk merebut kembali daerah jajahan mereka. Di lain sisi, Belanda cuma menyebutnya sebagai Politionele Acties (Aksi polisionil) untuk mengamankan situasi di Indonesia yang dianggap masih jadi hak mereka. Ternyata setelah kita merdeka, pertempuran narasi sejarah itu masih berlanjut sampai sekarang.

MUMPUNG jurnalis Belanda Bud Wichers masih di Surabaya, Harian Disway menggali pandangannya terkait Hindia-Belanda. Terutama kisah masa kecilnya sewaktu duduk di bangku sekolah.  Apakah ia mendapat pelajaran sejarah tentang Hindia-Belanda saat masih SD hingga SMA?

Budi, sapaannya, bersedia diwawancarai. Kebetulan ia sedang luang siang itu, 24 Februari. Tidak ada agenda ke luar rumah. Seharian ia hanya membaca perkembangan berita Rusia vs Ukraina. 

Wartawan spesialis wilayah konflik dan perang itu gemas karena tidak bisa ke sana. Bandara tutup. “I wish I was there,” kata Budi sambil menyodorkan sekaleng Coca-Cola dingin dari kulkasnya.

Akan sangat seru jika Budi menceritakan Ukraina. Ia sudah tujuh kali ke sana. Namun wawancara kali ini bukan soal itu. Budi akan menceritakan kisah masa kecilnya di Belanda.

Sebelum memulai wawancara, kami pindah ke studio foto yang sedang ia bangun di Eastwood CitraLand Surabaya itu. Ada tempat tidur kecil, komputer, dan laptop yang masih menyala. “Sepertinya kamu sangat tertarik dengan berita penyesalan PM Belanda, ya?” tanya Budi sambil tersenyum.

Pada 18 Februari, PM Belanda Mark Rutte menyatakan penyesalan mendalam atas kekerasan ekstrem pada 1945-1949. Pernyataan Rutte jadi polemik. Para kritikus sejarah dari Indonesia maupun Belanda yang tergabung di Histori Bersama melihat sikap PM Belanda cuma trik. 

Jika mereka mendapat simpati dari warga dan pemerintah Indonesia, Belanda bisa terbebas dari tuntutan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dipimpin oleh aktivis Jeffry Pondaag. Pria asal Makassar itu sukses mendampingi korban pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia pada periode antara 1945-1949.

Tuntutan dari yayasan KUKB terhadap pemerintah Belanda di pengadilan memang berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menyatakan permintaan maafnya dan para janda korban penembakan. Menerima juga mendapat ganti rugi sebesar 20 ribu Euro. Sejak 2008, KUKB sukses memenangkan beberapa tuntutan para korban di Indonesia di pengadilan negeri melawan pemerintah Belanda. Sebagian dari tuntutan tersebut masih berlangsung. Banyak penemuan fakta-fakta baru yang muncul dari tuntutan di pengadilan tersebut.

Budi juga mengikuti polemik itu sepekan belakangan. Ia lebih condong ke mana? Membela Belanda atau Indonesia. Jawabannya bisa menarik. Sebab Budi lahir di Jakarta 44 tahun yang lalu dari pasangan Rusdi dan Mustiah. 

Saat bayi, Budi hanya sempat menikmati hangatnya pelukan sang ibu selama enam bulan. Karena ekonomi keluarga sulit, sang ibu merelakan anaknya diadopsi pasangan asal Belanda: Gerrie dan Han Rik. Jadi pendidikannya murni ditempuh di Gorssel. Sebuah desa di kota Lochem, provinsi Gelderland, Belanda.

“Selama sekolah kami tidak pernah mempelajari sejarah istilah Hindia-Belanda (Dutch East Indische),” katanya. Bahkan, secara personal ia tidak pernah mendengar istilah itu. Kalau istilah Hindia-Belanda saja tidak diajarkan, tentu para generasi muda Belanda tidak mendapat kisah kolonialisme itu.

Pelajaran tentang penjajahan di Indonesia tidak ada di buku sejarah Belanda. Bahkan sampai sekarang mereka tidak mengakui bahwa kita merdeka 17 Agustus 1945. Jika Belanda mau mengakui itu, maka invasi dan kebrutalan yang terjadi pada 1945-1949 memunculkan konsekuensi ganti rugi untuk Indonesia. Duit 4 miliar gulden yang sudah dibayar Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) juga harus dikembalikan.

Saat SMA, Budi mempelajari Perang Dunia II. Namun kisah yang terjadi di Indonesia tidak diajarkan. Belanda seakan menutupi dosa-dosa mereka. Dan Budi merasakan hal itu. 

Ia juga mempelajari tentang The Cold War atau Perang Dingin. Itulah periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, melawan kubu Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta negara-negara satelitnya. “Kami juga mempelajari tentang Israel, Palestina, dan Perang Teluk,” kata fotografer freelance itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: