Marjolein Dianggap Bela Penjahat Perang

Marjolein Dianggap Bela Penjahat Perang

Dalam buku Surabaya: Di Mana Kau Sembuyikan Nyali Kepahlawananmu (2018) yang ditulis Ady Setyawan dan Marjolein, dituliskan bahwa pembunuhan-pembunuhan itu tidak bisa dimungkiri, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Roeslan Abdulgani. Namun, apakah logis ketika tuduhan itu disematkan hanya kepada seseorang semata, tanpa melihat aspek-aspek lain yang berlaku ketika itu?

Tidak jelas berapa jumlah korban sekutu yang tewas di masa Bersiap. Richard Klaesen dalam bukunya berjudul Macabre Soerabaja (1990) menyebutkan, jumlah korban mencapai 600 jiwa untuk kawasan Surabaya saja. 

Beberapa publikasi belakangan ini malah menyebutkan jumlah korban mencapai angka 20 ribu hingga 30 ribu jiwa. Bert Immerzeel dalam tulisannya Bersiap, de Werkelijke Cijfers (Bersiap, Angka Sesungguhnya) pada tahun 2014 secara terbuka menyatakan bahwa angka-angka itu tidak didukung dengan bukti yang kuat.

Tentu orang-orang awam Belanda tidak mengenal siapa Bung Tomo sebenarnya. Jangankan Bung Tomo, sejarah kolonial dan dekolonisasi (1945-1949) yang sudah diajarkan sejak SD di Indonesia pernah ada di buku pelajaran Belanda. Mereka menutupinya seakan-akan dosa itu tidak pernah terjadi dan tidak perlu diungkit. 

Namun, para sejarawan Belanda atau orang yang punya sejarah keluarga di Indonesia, mengingat Bung Tomo sebagai sosok penghasut atas pembunuhan orang-orang Indo Belanda atau orang Belanda totok pada periode Bersiap.

Marjolein duduk di tengah terik mentari Surabaya. Selain menjadi peserta Parade Juang 2014, dia juga ikut meliput acara itu.
(Foto: GITA/ROODEBRUG SOERABAIA UNTUK HARIAN DISWAY)

Awalnya, Marjolein datang ke Indonesia untuk menelusuri jejak sang kakek yang pernah jadi relawan perang ke Indonesia. Dia mulai tertarik dengan sosok Bung Tomo. Semua buku berkaitan dengan Bung Tomo dibaca habis untuk tesis. Mungkin, yang dia baca lebih banyak dari kita yang kini mulai apatis terhadap sejarah bangsa sendiri.

Setelah membaca buku-buku tentang Bung Tomo, Marjolein merasa sudut pandang Belanda perlu diluruskan. Karena itulah ia mendirikan historibersama.com, sebuah platform tiga bahasa: Belanda, Indonesia, Inggris. Platform itu dibentuk untuk menarik benang merah dari perdebatan narasi sejarah kedua negara.

“Banyak yang mengira saya pro-Indonesia,” kata Marjolein, Jumat (25/2).  Menurutnyi, ini bukan soal pro atau anti Indonesia. Ini juga bukan tentang pro atau anti Belanda. Ini tentang pro- atau anti-kolonial. Dari perspektif etis hanya ada satu yang benar dan itu adalah anti-kolonial, melawan penindasan, melawan rasisme. 

Kalimatnyi itu mengingatkan kita akan sosok K’tut Tantri. Mungkin Marjolein memang jelmaan sang Soerabaja Sue (Penggugat dari Surabaya). Begitu pers Australia, Singapura, bumi belahan lainnya menjuluki K’tut Tantri. Maju tak gentar, membela yang benar. (Salman Muhiddin)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: