Kepastian Hukum di Pernikahan Beda Agama

Kepastian Hukum di Pernikahan Beda Agama

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

BERBICARA tentang hukum seharusnya tidak terlepas dari perkembangan masyarakat dan norma-norma masyarakat yang lahir di negara ini. Sebab, hukum diamanatkan sebagai payung perlindungan kehidupan bermasyarakat antara satu dan lainnya.

Perbincangan perkawinan beda agama yang sedang viral belakangan ini memang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu ada edukasi yang lebih mendalam. Sudut pandang kita juga terkadang menentukan bagaimana respons kita atas sesuatu penilaian. Namun, jika berbicara hukum, kita bicara aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Burgelijk Wetboek alias Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No 16 Tahun 2019, dan Kompilasi Hukum Islam memberikan aturan dan pemaknaan yang berbeda tentang perkawinan.

Di sisi lain, hakim dituntut mampu menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat. Harapannya, apabila aturan tertulis tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, hakim dapat mengembalikan rasa keadilan tersebut sebagaimana amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pada prinsipnya, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dan, setiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan (vide Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974). Maka, hukum agama dalam pengesahan perkawinan merupakan faktor utama dari amanat UU. Walaupun, tidak secara tegas oleh UU Perkawinan bahwa perkawinan beda agama dilarang.

Jika kita tinjau Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum keperdataan bagi masyarakat beragama Islam, diatur pada pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Yakni, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.”

Sementara itu, di pasal 2 diatur, ”perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Jika kita tinjau dari Burgelijk Wetboek, pasal 26 mengatur, Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.  Dalam hubungan perdata, ada syarat formil (kata sepakat dan asas monogami) dan syarat materiil (data diri calon mempelai).

Jika kita tinjau dari yurisprudensi No 231/PAN/HK.05/1/2019, dijelaskan tentang perkawinan beda agama tidak diakui negara dan tidak dapat dicatatkan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan.

Dan jika yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, bila dilaksanakan secara Kristen atau non-Islam, perkawinan dicatatkan di catatan sipil. Namun, jika dilaksanakan secara Islam, perkawinan dicatatkan di kantor urusan agama (KUA).

Lalu, bagaimana dengan perkawinan beda agama yang disahkan Pengadilan Negeri Surabaya?

Hukum harus dimaknai secara koheren dan tidak bisa terpatah-patah. Saya memandang yang mulia majelis hakim a quo dalam menetapkan dan mengabulkan permohonan beda agama daripada berzina sebagai pertimbangan moral selanjutnya. Menurut saya, itu melebihi norma hukum yang ada.

Menyoroti UUD 1945 Pasal 27 dan Pasal 29 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) memiliki banyak irisan yang perlu kita pelajari bersama. Isu tesebut sangat sensitif. Dengan demikian, kita harus bijak dalam menyikapi.

Pasal 35 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

a)   Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan

b)   Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.”

Di dalam penjelasan UU No 23 Tahun 2006 pasal 35 huruf (a) dijelaskan,Yang dimaksud dengan ’perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Oleh karena itu, terjadi dualisme hukum antara UU No 1 Tahun 1974 dan UU No 23 Tahun 2006 terkait perkawinan yang sah. Maka, dualisme itu perlu diuji meteriil di Mahkamah Agung. Dengan demikian, ada kepastian hukum terhadap fenomena sosial terkait perkawinan beda agama. (*)

 

*) Praktisi hukum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: