Gaji Pekerja Sosial
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
PEKAN ini media diramaikan oleh berita tentang gaji presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang mencapai Rp 250 juta sebulan. Plus fasilitas mobil mewah Toyota Alphard dan Mitsubishi Pajero. Itu membuat sorotan tajam terhadap model pengelolaan ACT.
Gaji ratusan juta dan fasilitas mewah itu dianggap sebagian orang sebagai ”penyelewengan” dana sosial. Dinilai tidak pantas karena setara gaji dan fasilitas CEO BUMN atau perusahaan besar. Padahal, ACT adalah lembaga filantropi. Lembaga yang memegang amanah donator-donatur untuk menyalurkan kepada yang berhak.
Dan ternyata gaji besar dan fasilitas untuk presiden, wakil presiden, direktur, dan para petinggi ACT itu menjadikan pengelolaan tidak efisien. Buktinya, ACT menggunakan 13,7 persen donasi untuk operasional. Itu melanggar Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dalam PP itu diatur bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen.
Akibat pelanggaran itu, Kementerian Sosial kemarin mencabut izin pengumpulan uang dan barang (PUB) lembaga filantropi ACT. Artinya, ACT tidak boleh lagi mengumpulkan dana sosial dari masyarakat.
ACT sendiri memang lembaga filantropi yang sangat besar. Dalam lima tahun ini, donasi yang berhasil dikumpulkan lebih dari Rp 3 triliun. ACT pun memiliki holding Global Islamic Philanthropy (GIP).
Di bawah GIP, ada banyak lembaga, seperti Global Wakaf, Global Zakat, Global Qurban, MRI, DMIII. Ada lagi lembaga-lembaga di bawahnya. Global Wakaf, misalnya, masih membawahkan lumbung ternak wakaf, lumbung beras wakaf, lumbung air wakaf, dan lain-lain.
Ekosistem filantropi di Indonesia memang cukup baik sehingga lembaga seperti ACT berkembang luar biasa. Itu tak lepas dari karakter dasar masyarakat Indonesia yang memang berjiwa sosial dan ringan tangan membantu orang lain.
Itu bisa dibuktikan dari hasil riset Charities Aid Foundation (CAF) dalam world giving index (WGI) atau indeks kedermawanan dunia. Tahun 2020, Indonesia berada di peringkat pertama dunia. Artinya, warga Indonesia adalah warga paling dermawan sedunia.
The World Giving Index (WGI) merupakan laporan tahunan yang diterbitkan CAF. Data dikumpulkan Gallup, lembaga polling di Amerika Serikat. Pada WGI, mereka memeringkat 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan atau ringan tangan mereka.
Ada tiga indikator yang digunakan dalam pemeringkatan WGI. Yaitu, menyumbang kepada orang asing atau tidak dikenal, menyumbang uang, dan kerelawanan atau menjadi volunter. Dari tiga indikator itu, Indonesia menempati peringkat teratas pada dua kategori.
Dari laporan tersebut, 8 dari 10 orang Indonesia menyumbang uang pada 2020. Di kriteria yang lain, tingkat kerelawanan masyarakat Indonesia luar biasa. Lebih dari tiga kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat kerelawanan dunia.
Ya, masyarakat Indonesia sangat dermawan meski tidak terlalu sejahtera. Dan memang kedermawanan tidak linier dengan kesejahteraan. Itu bisa dilihat dari 10 negara paling dermawan dalam WGI. Setelah Indonesia, negara miskin di Afrika, Kenya, menjadi nomor dua paling dermawan. Tiga negara Afrika yang lain juga masuk 10 teratas negara paling dermawan, yaitu Nigeria (3), Ghana (6), dan Uganda (8). Lainnya adalah Myanmar (4), Australia (5), Selandia Baru (7), Kosovo (9), dan Thailand (10).
Tidak Berlebihan
Berkembangnya lembaga filantropi seperti ACT tak bisa dilepaskan dari profesionalisme pengelolaan. Dampaknya, gaji para pengelolanya pun layaknya profesional. Selama ini masyarakat sangat percaya bahwa ACT bisa memfasilitasi penyampaian dana sosial kepada yang berhak. Itu tak lepas dari program-program ACT yang sangat banyak.
Dalam laporan tahun 2020, misalnya, terlihat ACT memiliki 10 program. Program utamanya adalah program kemanusiaan global yang menyedot donasi 26 persen. Selain itu, ada program ACT pangan (18%), wakaf (13%), kurban (12%), dan zakat (10%). Juga, program kebencanaan, kesehatan, dan lainnya seperti pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Profesionalisme dalam pengelolaan ACT sebenarnya cukup bagus. Sayang, mereka melupakan aturan dan kepantasan dalam menggaji para pengelolanya. Jika merujuk pada model filantropi Islam seperti zakat, sudah jelas bahwa hak amil –pengumpul zakat– maksimal adalah 12,5 persen atau 1/8 dari donasi.
Itu mengacu pada Q.S. At-Taubah ayat 60 yang menyebutkan ada delapan golongan penerima zakat. Termasuk amil atau pengumpul zakat. Syafii sebagai mazhab panutan sebagian besar muslim Indonesia menyebutkan bahwa hak amil zakat adalah 1/8 dari zakat terkumpul.
Pembatasan itu membuat lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) dan BAZNAS secara ketat membatasi agar dana operasional –termasuk gaji para pengelola– tidak melebihi batasan itu. Memang, saat lembaga masih kecil, 1/8 itu tidak cukup. Karena itu, biasanya mereka menggunakan dana infak-sedekah yang tidak diatur secara ketat.
Pengalaman LAZ Nurul Hayat mungkin bisa menjadi best practice yang luar biasa. LAZ nasional asal Surabaya itu tidak mengambil hak amil dari dana zakat. Sebab, operasional, termasuk gaji pengurus dan karyawan Nurul Hayat, diambil dari usaha milik lembaga. Mereka memang punya usaha akikah, percetakan, dan lainnya yang cukup maju dan bisa membiayai operasional lembaga filantropinya.
Tidak harus semua lembaga filantropi meniru Nurul Hayat. Bahkan, lembaga filantropi harus dikelola secara profesional dan melibatkan para profesional. Namun, kepantasan berapa gaji professional itu sangat penting. Apalagi, namanya lembaga sosial. Apalagi, sudah ada PP yang mengatur biaya operasional maksimal 10 persen dari donasi. Semoga kasus ACT menjadi pembelajaran bagi lembaga filantropi lain. Wallahu a’lam. (*)
*) Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: