Syariah Comply Komoditas Syariah

Syariah Comply Komoditas Syariah

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

MARAKNYA perdagangan komoditas kini diikuti inovasi-inovasi komoditas syariah. Yang terbaru dari Bank CIMB Niaga Syariah, yaitu Subrogasi Indirect Auto iB. Itu adalah produk pembiayaan joint financing untuk pengalihan piutang pembiayaan murabahah kendaraan bermotor dari multifinance kepada bank berdasarkan prinsip syariah.

 

Sesuai Fatwa DSN MUI No 104/DSN/-MUI/X/2016, pengalihan piutang pembiayaan murabahah dilakukan melalui proses jual beli (ba’i) dengan alat bayar (tsaman) berupa barang (sil’ah). Barang yang menjadi alat bayar adalah komoditas yang pengadaannya dilakukan melalui bursa komoditas.

 

Melalui Subrogasi Indirect Auto iB, CIMB Niaga Syariah membantu penyediaan kebutuhan dana bagi multifinance syariah. Itu diharapkan  dapat mengakselerasi pertumbuhan aset pembiayaan di CIMB Niaga Syariah.

Perdagangan komoditas syariah di Indonesia dimulai tahun 2011. Komoditas yang diperdagangkan saat itu adalah kakao, kopi, dan kacang mete.  Perdagangan komoditas itu menjadi sangat menarik karena diberi label syariah” sehingga perlu melihat bagaimana sebenarnya transaksi di pasar komoditas yang dijamin sesuai dengan syariah Islam itu.

Perdagangan komoditas syariah diinisiasi perbankan syariah. Perbankan syariah nasional sangat membutuhkan instrumen untuk mengatur likuiditas. Jadi, latar belakang inisiasi perdagangan komoditas syariah di Indonesia, yaitu adanya permintaan dari perbankan syariah yang butuh instrumen finansial. Permintaan itu lalu diikuti fatwa DSN MUI No 82 tentang Perdagangan Komoditi Syariah.

Dari situ tampak sekali motif diadakannya perdagangan komoditas syariah itu lebih untuk keperluan instrumen finansial. Kalau ide dasarnya adalah keperluan tersebut, bisa dipastikan bahwa perdagangan komoditas itu nanti menjadi perdagangan instrumen keuangan saja, bukan perdagangan komoditas riil.

Sebagai sebuah pasar barang, semestinya perdagangan komoditas syariah itu dilatari kebutuhan produsen (perusahaan perkebunan, petani, dan pedagang barang pertanian) dan konsumen komoditas (pabrikan dan pedagang barang-barang pertanian). Mereka membutuhkan perdagangan (pasar) untuk membentuk harga yang fair, memperoleh informasi ketersediaan barang dan kebutuhan yang akurat, standardisasi barang, kemudahan menjual dan membeli, serta keamanan transaksi.

Jika produsen dan konsumen komoditas yang memerlukan perdagangan itu, ke depan bisa diharapkan bahwa pasar komoditas syariah tersebut akan mentransaksikan komoditas secara riil. Harga komoditas pun ditentukan oleh supply dan demand riil, bukan permintaan dan penawaran semu di pasar berjangka saja yang sering kali bergantung pada kemauan para risk taker (pedagang) yang bertindak sebagai stand by buyer dan stand by seller.

Sayang, jika ternyata tujuan  perdagangan komoditas syariah itu bukan untuk memfasilitasi kebutuhan produsen dan konsumen komoditas, tapi lebih pada kebutuhan pelaku pasar keuangan. Karena itu, patut dikhawatirkan pasar tersebut hanya akan jadi alat” untuk melegalkan transaksi-transaksi derivatif yang tidak riil, yang selama ini justru dikritik ekonomi syariah. Transaksi-transaksi turunan (derivatif) itu pula yang selama ini dikecam sebagai penyebab bubble keuangan di pasar keuangan global.

 

Ajang Spekulasi

Melihat inisiasinya oleh pelaku pasar finansial, inovasi produk perdagangan komoditas syariah ini patut dikhawatirkan menjadi ajang spekulasi keuangan. Kekhawatiran itu cukup beralasan. Sebab, selama ini praktik transaksi komoditas memang seperti itu adanya.

Hal tersebut bisa dilihat dari transaksi-transaksi pada Jakarta Future Exchange (JFX), tempat perdagangan komoditas syariah itu digelar. Selama ini, JFX telah memiliki perdagangan komoditas olein (minyak goreng), emas, dan CPO (crude palm oil) dengan masa kontrak rata-rata enam bulan. Praktiknya, selama ini, dari seluruh transaksi di JFX, ternyata tidak ada transaksi riil dengan ada penyerahan barang. Lainnya sudah dilikuidasi sebelum jatuh tempo atau jika dipegang sampai jatuh tempo pun, pembeli tidak meminta penyerahan barang karena memang mereka bukan pihak yang membutuhkan barang.

Jadi, para investor” yang bertransaksi di pasar komoditas selama ini lebih merupakan spekulan yang memang tidak membutuhkan komoditas. Mereka hanya mengharap bisa memperoleh keuntungan dari ketepatan prediksi perubahan harga. Sebab, di pasar itu, ada pedagang yang bertindak sebagai stand by buyer dan stand by seller yang memosisikan diri sebagai risk taker.

Jika investor tepat memprediksi, misalnya, memprediksi harga olein akan naik dan ternyata naik sehingga ambil posisi buy (long), investor akan untung. Pedagang (risk taker) harus menanggung kerugian dengan membayar keuntungan investor. Begitu juga sebaliknya, jika ternyata harga olein turun, investor akan rugi dan risk taker akan untung.

Itu sama persis dengan sistem perjudian dengan system zero sum game yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Apalagi, dalam pasar komoditas, investor boleh mengambil posisi dua arah, buy (long) dan sell (short) tanpa syarat. Itu berarti, investor yang tidak memiliki barang pun boleh menjual lebih dulu jika memprediksi harga akan turun sehingga memperoleh keuntungan saat harga komoditas benar-benar turun. Itu jelas bertentangan dengan syariah Islam karena termasuk kategori bay’ ghairul wujud maupun bay al-ma’dum.

 

Kedepankan Hakikat Syariah

Melihat motif dari perdagangan komoditas seperti di atas, sudah semestinya setiap kebijakan berkaitan dengan transaksi syariah tidak mengedepankan fikih secara tekstual, tetapi lebih pada maqashid (tujuan) syariah. Lebih mengedepankan hakikat daripada lafadz.

Dalam kitab-kitab fikih klasik seperti Fathul Wahab atau Fathul Mu’in Al-Mujib dijelaskan bahwa tidak boleh menjual anggur kepada seseorang yang akan menjadikannya arak atau menjual pisau kepada orang yang jelas akan menggunakannya untuk membunuh. Lalu, apa bedanya dengan memfasilitasi perdagangan yang jelas nanti akan digunakan untuk ajang berspekulasi yang jelas dilarang oleh Islam?

Di sinilah seharusnya Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sebagai otoritas syariah tertinggi tidak melihat produk-produk dan transaksi keuangan hanya dari sisi apakah sesuai fikih atau tidak. Yang harus lebih dikedepankan adalah perspektif maqashid syariahnya, seperti untuk apa produk atau transaksi itu dibuat, bagaimana praktik dari transaksi itu nanti di lapangan, dan apa manfaat serta mudarat dari produk atau transaksi itu?

Jika tidak, masa depan ekonomi syariah ini justru akan suram. Sistem ekonomi Islam yang bebas riba, spekulasi, gharar, zalim, dan haram yang didukung oleh etika ekonomi Islam akan menjadi tidak berbeda dengan yang lain, ketika produk dan transaksinya juga penuh spekulasi, gharar, dan menimbulkan bubble yang suatu ketika akan meletus juga. Wallahu a’lam. (*)

 

*) Dosen ekonomi syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: