Series Jejak Naga Utara Jawa (56) : Reka Ulang Motif-Motif Kuno
PENJELASAN SHAFIND Firstnanda Aditya (kiri) kepada Doan Widhiandono tentang motif batik kuno Lasem yang berasal dari sketsa Joana Tjoa.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Dengan telaten, Shafind menunjukkan ciri motif batik peranakan yang masih abadi hingga kini. Warna-warni batik itu mewujud dalam detail motif yang kecil dan halus. Menampakkan betapa rumitnya proses pembuatan batik tulis.
Di salah satu bagian Oemah Lasem, Shafind menunjuk dua potret lawas. Hitam-putih. Foto berbentuk oval itu dibingkai pigura kayu dengan ukiran tipis di tepiannya. Kentara banget lawasnya.
’’Itu dulu pemilik rumah ini,’’ kata Shafind.
Foto kanan menunjukkan perempuan sepuh dengan pakaian berhias bordir. Kerahnya tinggi, menutup separo leher. Kerah shanghai. Ada tulisan nama di bawahnya: Oei Djioe Nio.
Sedangkan foto kanan adalah lelaki klimis memakai jas dan dasi. Namanya: Tjoa Tiong Bie. Kentara bahwa ia berasal dari kalangan yang berada. Dan bangunan yang kini menjadi Oemah Batik Tiga Negeri pun sejatinya sudah menunjukkan bahwa pasangan itu memang orang berpunya. Rumah mereka gede dengan wajah depan yang ditopang pilar-pilar bergaya Eropa.
Foto itu diletakkan di dinding tengah yang terbuat dari kayu. Ada pintu di kanan-kirinya. Simetris. Khas rumah warga Tionghoa dulu. Dan di bawah foto ada altar kuno milik keluarga Tjoa. Ada patung dewa di situ. Wujudnya adalah lelaki berjenggot yang tersenyum ramah. Itulah Cai Shen. Dewa rezeki.
Ya, dulu, paviliun Oemah Batik Tiga Negeri memang rumah keluarga Tjoa Tiong Bie dan Oei Djio Nio. Diperkirakan, bangunan itu berdiri pada 1870-an. Sebagian besar bangunannya masih asli. Termasuk dinding di belakang altar dan langit-langit yang terbuat dari bilah-bilah kayu.
Dan sejak dulu, rumah itu memang menjadi sentra produksi batik keluarga Tjoa. ’’Salah satu buktinya adalah sketsa batik Joana Tjoa,’’ kata Shafind.
Sketsa itu bak harta karun yang lama terpendam. Ia ditemukan di dalam beberapa koper kuno. Di dalamnya ada kain pola dan koran-koran dari abad ke-19. Sketsa itu diperkirakan juga berusia sekitar 150 tahun. Digambar dengan pensil warna-warni pada lembaran kertas tipis.
Sketsa tersebut menunjukkan jiwa seni Joana Tjoa (beberapa sumber menuliskannya sebagai Tjohana Tjoa), anak keluarga Tjoa. Warna-warnanya berani. Cerah. Khas batik peranakan. Motifnya juga apik. Ada yang merupakan paduan garis-garis geometris dengan komposisi warna beragam. Ada yang menunjukkan bebungaan pada latar belakang warna yang menyala.
Kini, sketsa-sketsa itu dipajang pada pigura di Oemah Batik Tiga Negeri. Bersanding dengan kain batik produksi terkini. ’’Sketsa itu direproduksi. Jadi kain-kain ini,’’ ucap Shafind.
SKETSA LAMA karya Joana Tjoa yang dipajang di Oemah Batik Tiga Negeri, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Oemah Batik Tiga Negeri memang membuktikan bahwa mereka bukan sekadar tempat jualan batik. Di balik itu, ada misi yang mungkin tersirat. Bahwa tempat itu menjadi living museum. Sebuah museum yang tidak mati. Ia terus bergeliat bersama zaman tanpa meninggalkan peninggalan masa silam. Sistem penjualan di Oemah Batik Tiga Negeri boleh saja bergeser ke ranah digital. Tetapi, motif kain yang dipasarkan adalah warisan budaya yang terus lestari.
Hari itu, Kamis, 19 Januari 2023, tim Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway sudah harus pergi dari Lasem untuk melanjutkan ekspedisi. Kecamatan yang dijuluki Le Petit Chinois alias Tiongkok kecil itu meninggalkan sebentuk kenangan yang rasanya sulit hilang. Seperti bau lilin pada kain batik yang ternyata menimbulkan rasa kangen.
Ya, Lasem memang bikin kesengsem… (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: