Series Jejak Naga Utara Jawa (59) : Racikan Bumbu Akulturasi di Empal Gentong

Series Jejak Naga Utara Jawa (59) : Racikan Bumbu Akulturasi di Empal Gentong

EMPAL GENTONG yang disantap Retna Christa, tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, di Cirebon, 17 Januari 2023.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Akulturasi memang seperti bumbu makanan. Ketika sudah bercampur menjadi satu sajian, perlu kecermatan tinggi untuk mengidentifikasi asal masing-masing. Semua unsur melebur. Seperti yang kami rasakan pada empal gentong dan nasi lengko di Cirebon, 16 Januari 2023.
 
WUJUD empal gentong memang begitu familiar. Nasi plus sayur berkuah kuning. Seperti soto. Tetapi, kuahnya pekat. Kentara sekali ada santan di situ. Plus aneka rempah-rempah. Sehingga, aromanya pun menjadi beraneka. Gurih. Wangi.

Tentu, tidak ada yang menolak ketenaran restoran Empal Gentong Haji Apud yang kami kunjungi hari itu. Terletak di salah satu ruas jalan utama Cirebon, warung itu cukup ramai. ’’Apalagi waktu belum ada jalan tol. Orang banyak berhenti di jalan ini kalau mau kulineran,’’ kata Ade Gustiana, wartawan Radar Cirebon (Disway National Network/DNN) yang menemani ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa di Kota Udang tersebut.
 

Daging empal gentong yang kami cicipi cukup empuk. Nyaris lumer di mulut. Pas dengan nasi yang masih hangat di meja kami.

Lalu, di mana jejak akulturasinya?

Berbagai catatan menyebut bahwa empal gentong adalah perpaduan budaya-budaya yang ada di Cirebon. Yakni, tradisi Arab/India, Tionghoa, hingga Cirebon sendiri. Semuanya mewujud jadi satu racikan makanan.
 

SEPERTI SOTO, empal gentong menggunakan kuah berwarna kuning dengan aneka rempah-rempah.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Budaya Arab/India tampak pada berbagai bumbu yang ada di dalam empal gentong. Misalnya, cengkih, kapulaga, bunga lawang, atau kayumanis. Itu masih dicampur serai, lengkuas, atau daun jeruk yang sangat lokal.

Sedangkan budaya Tionghoa terlihat dari wujud sayur berkuah tersebut. Denys Lombard, penulis buku Nusa Jawa-Silang Budaya mengatakan bahwa sayur berkuah—atau soto—punya pengaruh kebudayaan Tionghoa. Di Rumah Oei, Lasem, yang kami kunjungi pada 18 Januari 2023, ada gambar yang menunjukkan bahwa soto berasal dari bahasa mandarin suo duo (索多). Meskipun, pada akhirnya berbagai daerah di Indonesia punya soto mereka sendiri-sendiri.
 

Lalu, kata gentong pada makanan itu memang merujuk pada teknik memasaknya yang memakai periuk tanah liat. Dulu, memasaknya sangat lama. Bisa di atas lima jam. Itu membuat daging menjadi lembut dengan bumbu yang meresap.

Hari itu, kami juga menikmati nasi lengko. Menu ini punya tampilan sederhana. Yakni, nasi, sayuran, plus kecap.
 

NASI LENGKO ini terdiri atas berbagai sayuran tanpa daging. Cukup menyehatkan.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Makanan yang kami nikmati hari itu berisi potongan mentimun, tauge, daun kucai, tahu, plus sambal atau saus kacang. Di situ pun terlihat ada pengaruh budaya Tionghoa melalui hadirnya kecap. Bahkan situs cirebonkota.go.id, situs resmi pemerintahan Kota Cirebon, pun menulis bahwa nasi lengko amat disukai warga Tionghoa. 

Harus diakui, jejak akulturasi pada makanan itu sudah begitu samar. Karena bahan-bahan makanan itu semua sudah begitu akrab di tengah-tengah kita. Bahkan sudah menjadi bagian dari khazanah kuliner Nusantara. 

Mengapa pencampuran budaya itu bisa terjalin begitu erat di Cirebon? Tentu ini tidak terlepas dari posisi Cirebon yang begitu strategis sebagai jalur lalu lintas laut di masa silam. Sehingga, warga Cirebon memang sudah akrab dengan kedatangan orang-orang berbagai bangsa. Mereka tidak sekadar mampir. Sebagian menetap dan mewariskan budaya mereka masing-masing.

Dan dalam hal kuliner, jejak budaya itu bisa diracik menjadi cita rasa kuliner yang nikmat. Senikmat yang kami rasakan dalam ekspedisi di Cirebon. Terlebih, momentum liputan kami begitu pas. Saat jam makan siang… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: