Pendatang Surabaya Tembus 297 Ribu Orang

Pendatang Surabaya Tembus 297 Ribu Orang

Pemotor melintasi Jembatan Suramadu, Rabu, 26 April 2023.-Ervina Thalita - Harian Disway-

SURABAYA, HARIAN DISWAY – Laju pertumbuhan penduduk Kota Surabaya cukup cepat. Diprediksi 10 tahun ke depan mencapai 3,2 juta penduduk. Belum lagi ditambah dengan para perantau yang menetap dalam waktu lama.

 

Jumlah warga pendatang itu juga tak sedikit. Setidaknya terhitung 10 persen dari jumlah penduduk. Dan selalu makin banyak tiap tahun. Terutama pada momen-momen tertentu seperti usai Lebaran.

 

Tahun ini, Pemkot Surabaya mulai mengawasi kedatangan para warga pendatang itu. Yakni untuk memastikan bahwa mereka menetap secara layak. Tidak sekadar berpindah tempat tinggal, tetapi malah menjadi beban.

 

BACA JUGA : Sudah Hari Kerja, Pemudik Belum Balik Semua. Bahkan Belum Separuhnya

BACA JUGA : Arus Balik Meningkat, Pemudik Surabaya Mulai Kembali ke Perantauan

 

Pernyataan itu ditegaskan langsung oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi beberapa waktu lalu. Bahwa saat ini pemkot memang fokus mengentas pengangguran dan kemiskinan. "Kalau mau datang ke Surabaya silakan, tapi harus punya pekerjaan dan tempat tinggal," tegasnya.

 

Pendataan bakal dilakukan secara mendetail. Apabila penduduk luar daerah itu kos di Kota Surabaya, maka mereka akan dicatat sebagai warga KTP musiman. Artinya, tidak tercatat sebagai penduduk KTP Surabaya melainkan hanya domisili di Kota Pahlawan. Ada KTP sementara yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya.

 

Kepala Dispendukcapil Surabaya Agus Imam Sonhaji menegaskan, pengawasan itu bakal digelar di 31 kecamatan mulai 9-13 Mei 2023 nanti. Pendataan menyasar kepada setiap penduduk yang datang. Mulai dari pencatatan nama, Nomor Induk Kependudukan (NIK), serta alamat tinggal di Kota Surabaya.

 


-Ilustrasi: Annisa Salsabila-Harian Disway-

 

"Jadi, penduduk yang datang ke Surabaya itu dicatat dengan jelas. Apakah mereka bekerja, berobat, menempuh pendidikan di perguruan tinggi atau keperluan lain," katanya saat dihubungi, Kamis, 27 April 2203. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan terkait kependudukan. Setiap penduduk yang masuk ke suatu kota, tapi tetap mempertahankan status kependudukan daerah asal, maka diwajibkan untuk didata sebagai penduduk nonpermanen.

 

Menurut Agus, pendataan ini sangat penting agar jumlah penduduk yang tinggal di Kota Surabaya dapat diketahui mendekati kondisi sebenarnya. Sehingga bisa menghindari ledakan penduduk yang berpotensi menghambat sektor lain. Baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial.

 

Apabila pendatang tidak memiliki tujuan yang jelas, maka mereka diminta untuk kembali ke daerah asal. Maka warga pendatang itu wajib melapor ke kelurahan setempat. Petugas kelurahan pun langsung mendata langsung. "Petugas sudah dilatih menggunakan aplikasi Puntadewa (Pendataan Penduduk Non Permanen WNI) yang sudah disiapkan untuk pendataan penduduk non permanen," katanya.

 

Jumlah penduduk yang besar memang merupakan modal dasar. Bisa menjadi potensi besar bagi peningkatan pembangunan di segala bidang. Namun, bakal menjadi boomerang kalau tak diimbangi dengan pengembangan kualitas penduduk.

 


Pemudik menaiki bus Widji Indah jurusan Surabaya-Bojonegoro, Rabu, 19 April 2023.-Sahirol Layeli-Harian Disway-

 

"Jadi ya harus diukur dengan sejumlah variabel," ujar anggota Dewan Pakar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Ali Yusa. Misalnya, ketersediaan lapangan kerja maupun akses pendidikan. Apalagi, Kota Surabaya memang pusat gravitasi dua sektor itu bagi wilayah lain.

 

Terutama, tambah Ali, banyaknya para pendatang dari tetangga sebelah: Madura. Ini yang menjadi catatan khusus. Banyak warga dari Pulau Garam itu bermigrasi ke Kota Pahlawan yang sayangnya sangat minim modal dan kualifikasi.

 


Para pemudik turun dari KM Gunung Dempo di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.-Julian Romadhon-Harian Disway-

 

Maka kehadiran mereka justru memenuhi sektor non-formal. Menumpuk di wilayah-wilayah pesisir. Yang paling banyak di jajaran pedagang kaki lima (PKL), kuli panggul, maupun ojek online.

 

Dampaknya, warga lokal Surabaya pun tak kebagian. Atau paling tidak punya saingan yang ketat. "Bisa dilihat sentra wisata kuliner kita, kan juga kalah saing. Banyak yang susah bergerak, karena dicaplok," tegas Ali.

 

Menurutnya, hal itu terjadi disebabkan oleh sejumlah faktor. Tetapi, yang paling utama adalah minimnya lapangan kerja di daerah mereka. Sektor industri Madura pun masih sangat rendah, tak sampai 3 persen.

 

Maka, pembatasan mutlak dilakukan. Bagi para pendatang yang tak punya pekerjaan formal dan tidak berdokumen harus segera dilacak. "Dan sebaiknya pemda setempat dan pemprov harus intervensi. Karena urbanisasi di Jatim ini justru didominasi oleh warga daerah Jatim sendiri. Berbeda dengan Jakarta yang bisa menampung dari luar provinsi," tandas Ali. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: