Literasi Rendah, Minat Penelitian Lemah; Pendidikan di Indonesia Masih Minim Lahirkan Inovasi

Literasi Rendah, Minat Penelitian Lemah; Pendidikan di Indonesia Masih Minim Lahirkan Inovasi

Mendikbudristek Nadiem Makarim memimpin upacara hari pendidikan nasional, 2 Mei 2023.-YouTube Kemendikbudristek-

JAKARTA, HARIAN DISWAY – Program Merdeka Belajar diklaim sebagai terobosan baru untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih relevan. Lebih fokus pada pembinaan bakat, minat, dan potensi para peserta didik. Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kali ini pun mengusung tema Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar.

 

Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sudah meluncurkan 24 episode Merdeka Belajar. Salah satunya terkait evaluasi pendidikan. “Anak-anak saat ini bisa belajar dengan tenang, karena dinilai secara menyeluruh oleh gurunya sendiri,” kata Menteri Pendidikan Nadiem Makarim saat pidato upacara peringatan Hardiknas 2023 di halaman Kemendikbud Ristek, Jakarta, Selasa, 2 Mei 2023.

 

Para guru juga punya ruang untuk berbagi karya melalui platform Merdeka Mengajar. Peraturan-peraturan yang dulu mengikat mereka secara administratif, kini perlahan terus dikurangi. Artinya, kata Nadiem, kini inovasi-inovasi pembelajaran bisa diciptakan di ruang kelas.

 

BACA JUGA : Rayakan Hardiknas, Ini 5 Rekomendasi Film Bertema Pendidikan

BACA JUGA : Perubahan Jadi Tantangan Pendidikan Vokasi

BACA JUGA : Brawijaya Awards, Bukti Kepedulian pada Pendidikan oleh Babinsa Trenggalek

 

Selain itu, program Merdeka Belajar juga menyentuh urusan administrasi pendanaan. Baik dalam skema bantuan operasional sekolah (BOS) maupun bantuan operasional pendidikan (BOP). Penggunaan dua anggaran itu tentu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

 

Selanjutnya, adanya perluasan program beasiswa juga memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi sekarang menjadi jauh lebih terbuka. “Termasuk dukungan dana padanan untuk mendanai riset. Dana yang fleksibel itu bisa mewadahi gagasan kreatif dan inovatif,” tutur pendiri Gojek itu.

 

Kurikulum Merdeka Belajar memang baru secara masif diterapkan ke semua jenjang pendidikan sejak 2022. Mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA. Belum bisa dilihat keberhasilannya.

 

Tentu harapannya bisa memberi dampak yang signifikan. Mengingat Indonesia mengalami krisis pembelajaran dalam 20 tahun terakhir. Kendati kurikulum kerap berganti-ganti.

 

Buktinya dari hasil Asesmen Nasional 2021, 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki kompetensi minimum di bawah standar internasional. Pendidikan di sekolah-sekolah belum memenuhi harapan dalam penguasaan fondasi dasar. Yakni seperti literasi dan numerasi maupun karakter. 

 

"Program dan kebijakan dari pusat kerap tak sesuai kebutuhan sekolah," ujar pengamat pendidikan Ali Yusa. Bahkan, kebijakan-kebijakan pendidikan itu justru membuat para guru kebingungan. Mereka gagap menerjemahkannya di ruang kelas.

 

Fakta lain yang tak kalah menyedihkan dari UNESCO pada 2022. Indeks minat baca di Indonesia hanya 0,0001 persen. Tingkat literasinya berada di peringkat 10 besar terbawah. Bertengger di peringkat 62 dari 70 negara.

 

Hasilnya, kata Ali, bisa dilihat dari iklim akademisi di kampus. Yakni minat penelitian juga rendah. Padahal, penguatan penelitian satu-satunya jalan menciptakan inovasi. Yang nanti bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri maupun pertimbangan dalam mengambil kebijakan.

 

Sebetulnya, inovasi di Indonesia cukup berkembang dalam dua tahun belakangan. Setidaknya menurut survei Global Innovation Index terhadap 132 negara. Peringkat Indonesia naik cukup signifikan dari 87 ke 75 pada tahun lalu.

 

Peningkatan itu juga didorong oleh jumlah publikasi ilmiah yang terus bertambah. Tercatat, Indonesia menghasilkan 34 ribu jurnal terindeks Scopus pada 2019. Kemudian bisa tembus 50 ribu hingga akhir 2022.

 

“Tapi, masih diperlukan lebih banyak peneliti lagi,” ujar anggota Dewan Pakar Institut Sepuluh Nopember Surabaya itu. Sebab, perbandingan jumlah dosen dan peneliti dengan perguruan tinggi belum ideal. Terdapat 177 ribu dosen dan peneliti dari 4.607 perguruan tinggi. Kalau dirata-rata, setiap perguruan tinggi hanya mencatatkan 38 peneliti.

 

Menurut Ali, dukungan lain juga harus diberikan melalui pendanaan. Mengingat, alokasi dana riset dari Kementerian Keuangan masih di bawah satu persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Sangat jauh dibandingkan negara-negara maju seperti Jepang dan Korea yang sudah di atas 3-4,5 persen.

 

Makin banyak riset tentu bisa mendongkrak kualitas pendidikan. Terutama dalam menciptakan iklim produktif di perguruan tinggi. Apalagi, hingga kini perguruan tinggi terbaik di Indonesia yakni Universitas Indonesia hanya bisa menembus peringkat 876 dunia (versi The World University Rankings). (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: