Sejarah Tari Topeng Sidakarya oleh I Nyoman Arjawa

Sejarah Tari Topeng Sidakarya oleh I Nyoman Arjawa

I Nyoman Arjawa dan topeng Sidakarya yang dipegangnya. Topeng itu memiliki cerita kisah legenda Brahmana Keling.-Julian Romadhon-

BALI, HARIAN DISWAY - I Nyoman Arjawa, seniman tari topeng ternama Bali, mengambil satu topeng di dalam bilik penyimpanan. Topeng yang dipegangnya memiliki gambaran wajah lebar, mata sipit, gigi tonggos. Ornamen di topeng itu seperti paduan antara wajah manusia dan mahluk supranatural.

Itu merupakan topeng tokoh Sidakarya. Orang awam mengira bahwa topeng itu berkarakter jenaka. Padahal, topeng Sidakarya adalah topeng suci yang digunakan dalam upacara-upacara di Pura. Sidakarya adalah gelar dari tokoh besar: Brahmana Keling yang berasal dari Jawa Timur.

"Sebelum tokoh Sidakarya dipentaskan, maka upacara di Pura tidak akan dimulai. Jadi tari topeng Sidakarya ini sebagai pembuka," ujarnya. Karakter tariannya sederhana, namun berwibawa.

Sesuai dengan pembawaan Brahmana Keling yang dikenal sebagai seorang dermawan yang hidup sederhana. Wajah pada topeng Sidakarya pun merupakan gambaran kesederhanaan yang mencerminkan pribadinya.

Dalam piranti pementasan Sidakarya, penarinya selalu membawa bokor berisi canang sari, dupa, beras kuning dan sebagainya, sebagai simbol kesederhanaan itu. "Ceritanya, Brahmana Keling datang ke Bali untuk menemui saudaranya, Raja Gelgel, Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha," ujarnya.

Namun, rakyat Gelgel tak percaya pada Brahmana Keling, karena saat itu ia berpakaian lusuh dan dianggap tak memiliki perawakan sebagai kerabat raja. "Brahmana Keling diusir, dihina. Tapi tetap tenang. Lalu tiba-tiba Brahmana Keling menghilang, dan ditemukan duduk di atas pelinggih Surya di Pura Besakih. Semua kaget," kata pria 51 tahun itu.

Raja Dalem Waturenggong yang datang, marah karena melihat Brahmana Keling duduk di atas pelinggih. Ia marah, bahkan mengusir kerabatnya itu. Tak sudi mengakui bahwa brahmana itu adalah saudaranya. Brahmana Keling tetap tenang, namun karena kecewa, ia mengeluarkan kutukan. Bahwa semua tanaman yang ada di Bali akan layu. Hama membabi buta dan masyarakat terkena wabah penyakit.

Kutukan itu menjadi nyata. Rakyat Bali dilanda wabah dan kekeringan parah. Hingga Raja Dalem Waturegenggong memerintahkan Dang Hyang Niratha untuk mencari keberadaan Brahmana Keling. "Itulah kisah pandemi dalam peradaban Bali silam. Yang bisa menghilangkan kutukan itu adalah Brahmana Keling sendiri," tuturnya.

Brahmana Keling pun dipanggil, disambut dan diberi penghormatan luar biasa. Ia pun bersamadi untuk menyirnakan segala hal negatif, imbas dari kutukan itu. Tak lama, semua kembali normal. Wabah penyakit hilang, hama pun tiba-tiba musnah. Tanaman-tanaman di Bali menjadi subur kembali.

Hasil alam melimpah dianggap sebagai karya masyarakat yang sukses. Atau dalam Bahasa Bali disebut "Sidakarya". Maka raja pun menganugerahinya gelar "Dalem Sidakarya" pada Brahmana Keling.

Raja Dalem Waturegenggong pun mendapat pawisik atau bisikan suci, bahwa sosok Dalem Sidakarya wajib ditampilkan dalam setiap upacara besar di pura. Sebagai penghormatan. (Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: