Perang Poster di Desa Munjungan, Trenggalek: Mirip Banner Caleg Ternyata Undangan Pernikahan
POSTER undangan pernikahan berbaris di salah satu sudut Desa Munjungan, Kecamatan Munjungan, Trenggalek.-Foto: Elma Yulia Rahma-
Buat yang pertama kali berkunjung ke Desa Munjungan, Trenggalek, jangan terkejut kalau melihat puluhan poster di setiap tikungan jalan. Itulah undangan pernikahan khas warga setempat. Elma Yulia Rahma, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945, menuliskan reportasenyi untuk Harian Disway.
---
ADA 24 poster berjajar di gerbang Desa Munjungan, Kecamatan Munjungan, Trenggalek, Minggu lalu. Ukurannya bervariasi. Ada yang 1,5 meter x 1 meter, 90 cm x 60 cm, atau 90 cm x 90 cm. Semuanya dilengkapi foto. Rata-rata berpasangan, laki-laki dan perempuan. Banner itu dipasang pada rangka bambu atau kayu, kemudian ditancapkan di tanah. Pemandangan serupa juga terlihat di tikungan lain di desa itu. Yang terbanyak di Kalitengah. Meriah.
Mereka bukan caleg. Tidak ada lambang partai politik di poster itu. Bukan pula calon kepala desa. Itu undangan pernikahan. Tapi foto yang dipasang bukan foto calon mempelai, melainkan foto orang tua calon pengantin. Sang pemilik hajat. Jadi, yang perlu pre-wedding tidak hanya calon pengantin. Orang tua mempelai juga perlu berdandan dan berfoto sebelum gambar wajahnya mejeng di banner undangan pengantin.
"Misal ada yang kenal dengan wajah yang ada di banner itu, akan berhenti dulu. Jadi tahu kalau teman atau kerabatnya punya hajat. Banner ini ya undangan terbuka," ujar Sani, warga Desa Munjungan, menjelaskan fungsi banner hajatan di desanya.
Pria 67 tahun itu mengatakan, tradisi pasang banner saat punya hajat itu sudah turun temurun. Ia sendiri lupa kapan pertama kali ada banner hajatan di desanya. Pun lupa siapa yang pertama kali punya ide pasang banner. Tapi tradisi itu orisinal Desa Munjungan. Tidak ada hal serupa di desa lain di Trenggalek.
RUANG POSTER disediakan khusus untuk menempel undangan pernikahan di Desa Munjungan, Trenggalek.-Foto: Elma Yulia Rahma-
Sebenarnya, pemilik hajat juga mengundang melalui kartu undangan dan diantar ke rumah-rumah. Kalau zaman sekarang juga lewat pesan WhatsApp. Tapi tetap saja pasang banner. Mereka ingin mengundang tamu sebanyak-banyaknya. Semakin banyak tamu, gengsi hajatan semakin tinggi.
Banner-banner itu biasanya dibiarkan saja terpasang meskipun acaranya sudah terlaksana atau kedaluwarsa. Tidak ada satpol PP yang merazia. Kalau sudah rusak karena hujan dan panas baru dibersihkan.
Mereka yang punya hajat tidak hanya pasang satu banner. "Saya pasang 15 banner," ujar Nika Aldiana. Perempuan 26 tahun itu menikah 30 Oktober 2022 lalu. Dia mencetak banner di Perdana Digital, jasa digital printing di timur SMPN 1 Munjungan.
Itulah percetakan yang menjadi langganan warga Munjungan. Desainnya juga dibuatkan oleh petugas percetakan. "Tinggal kirim foto mana yang mau dicetak," kata putri tunggal pasangan Lamidi dan Kayatin itu.
Banner undangan pernikahan Nika dan Dimas bukan berisi foto mereka. Bahkan nama mereka pun tak ada di dalam banner. Yang terpasang adalah foto Lamidi dan Kayatin. Nika masih menyimpan banner itu sebagai kenang-kenangan.
BANNER bergambar Lamidi dan Kayatin saat menikahkan putri tunggal mereka, Nika Aldiana.-Foto: Elma Yulia Rahma-
Apakah memasang banner berpengaruh besar pada tamu yang hadir di resepsi Nika-Dimas? Nika merasa ada pengaruhnya meskipun tidak lagi signifikan. "Kata ayahku, yang paling berpengaruh adalah seberapa sering kita datang ke hajatan orang. Orang yang kita datangi pas hajatan, pasti datang balik ke hajatan kita," ujar Nika.
Banner itu, kata Nika, fungsinya sebagai pengingat bagi yang sudah diundang secara langsung. Juga sebagai woro-woro bagi yang tidak dikirimi ulem-ulem. Yang dimaksud ulem-ulem adalah tradisi pemilik hajat datang ke rumah tetangga atau kerabat untuk mengundang. Karena ulem-ulem itu door-to-door, biasanya tidak semua sempat didatangi. Maka dibutuhkan banner sebagai pengganti ulem-ulem.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: