Penjurian Lapangan Brawijaya Award (17): Terabas Lintasan Berkabut Ledokombo-Senduro

Penjurian Lapangan Brawijaya Award (17): Terabas Lintasan Berkabut  Ledokombo-Senduro

Penyambutan tim juri oleh tokoh-tokoh masyarakat Desa Ledokombo di Pura Amerta Jati Luhur.-Syahrul Rozak Yahya-

Tipikal warga tengger. Kami bersantap malam di sebuah pawon di salah satu rumah Pak Sandi. Dapur yang tak seberapa luas yang di tengahnya ada tungku perapian. Tim juri pun berjubel dengan para prajurit untuk meraih kehangatan tungku di tengah gigitan udara dingin. 

Tentu saja saya akan kembali menyebut bagaimana gayengnya para perwira Teritorial Kodim Probolinggo di bawah komando Kapten Ari ini. Tidak ada batasan ewuh pakewuh antara komandan dan anak buah. Semuanya gayeng saling gojlok dan saling guyon. 

Santapan kami malam itu lele dan mujaer goreng dengan lalapan dan sambal, lodeh nangka muda, indomie goreng, nasi putih, dan kerupuk.  

Ketegangan kembali merayapi kepala saya setelah sejenak tersirap oleh makan malam yang akrab. Bagaimanapun, sebagai ketua tim, saya bertanggung jawab atas keselamatan anggota dan kendaraan kami. 

Saya sempat gamang sudah tepatkah keputusan saya ini. Beberapa suara di belakang kepala membisikkan agar tidak memaksakan diri dan melanjutkan perjalanan esok hari saja saat sudah terang. Toh akomodasi sudah disiapkan dan kemungkinan gratis. 

Tapi saya bergeming. Saya memutuskan maju terus. 

Kepala Desa Masaendi lantas terlibat rembuk dengan Pelda Ridlo’i yang saya tidak dilibatkan. Usut punya usut ternyata dia tidak bisa mengantarkan kami sampai Senduro. Selepas rembuk itu, Pak Sandi, sapaanya mendekati saya. 

Ia mengarahkan, beban mobil dikurangi separuh. Ia mengeluarkan mobilnya sendiri, Toyota Rush GR. Dua orang akan naik Honda B-RV. Yakni Pak Yusuf dan Rozak. Sementara saya dan Fiu akan menumpang mobil Pak Kades Sandi. Ia juga mendatangkan sopir dari warga desa setempat, Pak Supono namanya. 

“Saya cuma bisa mengantar ke perbatasan Senduro. Nanti sampai sana mas naik mobil Honda B-RV lagi,” jelasnya. “Tenang, nanti saya tetap di depan. Saya antarkan sampai hotel,” timpal Ridlo’i.

“Tapi Fiu tidak paham medan, pak.” Saya masih berusaha membujuk Pak Sandi.

“Tenang. Selepas perbatasan jalannya sudah enak kok,” katanya menenangkan. 

Malam semakin menanjak. Dimulailah perjalanan menegangkan menembus kabut melintasi Curah Tertek, nama jurang yang memisahkan Ledokombo dan Argosari di Kabupaten Lumajang. 

Dua mobil mulai mendaki tanjakan menuju ke puncak P30. Kemiringannya bisa lebih dari 30 derajat. Tidak masalah, karena dua mobil sama-sama bermesin 1,5 liter dan paling tidak adalah mobil kelas SUV dengan beban yang minim. 

Yang paling membuat menahan nafas adalah visibilitas yang ampun-ampunan. Lampu sorot full dari Rush saja seperti kepentok tembok putih di depan. Sementara tidak jarang kami melintasi turunan curam dengan tikungan yang pas di bibir jurang. Salah perhitungan sedikit saja sudah beda alam. 

Itulah pentingnya memakai sopir warga lokal. Mereka tahu seluk beluk ceruk pegunungan Kaldera Bromo ini. Hafal setiap tikungan, tanjakan dan turunan. Pak Sandi di samping saya pun menyetir sambil merokok dan mengobrol. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: