Misi Arek Ampel Keliling 157 Negara (2) : Modal Mental 27 Tahun sebagai Diaspora

Misi Arek Ampel Keliling 157 Negara (2) : Modal Mental 27 Tahun sebagai Diaspora

Aziz menunjukkan peta yang sudah digambar rute perjalanannya.-Boy Slamet-Harian Disway-

Misi Abdul Aziz Baya'qub berkeliling 157 negara hanya dengan mengendarai motor tentu tidak datang secara ujug-ujug. Setidaknya, arek Ampel ini sudah punya bekal yang cukup. Ia berpengalaman 27 tahun merantau ke berbagai negara.

 

MULANYA, Aziz cemas lantaran banyak sekali para sarjana yang menganggur. Jelang akhir 1990 saat itu, ia sudah menuntaskan semua SKS perkuliahan S1 Ilmu Hukum di Universitas Dr Soetomo, Surabaya. Tinggal menunggu ujian saja.

 

Di sela waktu, ada info lowongan pekerjaan sebagai marbot masjid yang ditulis oleh seorang wartawan senior. Infonya terpampang di salah satu koran terbesar nasional. Lokasi kerjanya tak tanggung-tanggung, di Washington DC, Amerika Serikat.

 

Aziz pun kepincut. Kontak yang tertera langsung dihubungi. Semua persyaratan sudah terpenuhi. Tetapi, jalan di depan masih buntu.

 

BACA JUGA : Misi Arek Ampel Keliling 157 Negara (1) : Dendam Tiga Tahun Dikurung Pandemi

 

Sebab, menetap di Negeri Paman Sam jelas butuh biaya yang tak murah. Setidaknya modal awal untuk mengakomodasi kebutuhan beberapa waktu di sana. Ongkos tiket pesawat saja sudah Rp 10 juta. 

 

Belum lagi uang jaminan untuk visa. Minimal harus punya saldo mengendap USD 25 ribu. Saat itu kurs dolar masih sekitar Rp 2.500. Sementara Aziz belum punya satu pun sumber pendapatan.

 

“Saya 10 bersaudara, ya sudah pinjam ke kakak-kakak itu,” kenang Aziz lantas tertawa. Visa pun sudah di tangan. Meski saat pengajuan pertama sempat ditolak. Aziz merasa dicurigai lantaran keturunan Arab.

 

Periode itu tepat bersamaan dengan Perang Teluk II. Iraq menginvasi habis-habisan Kuwait. Tetapi, semua kendala akhirnya dibereskan. Aziz mampu meyakinkan pihak konsulat bahwa tujuannya ke Amerika Serikat memang untuk lanjut studi. 

 

Lho, bukannya untuk melamar jadi marbot? Tidak jadi. Karena ternyata Aziz disarankan lanjut kuliah saja. Tentu saja sambil kerja serabutan di sana. Untuk menyambung hidup.

 

Aziz tinggal di Taylor Street, North East, Washington DC. Salah satu kawasan yang rawan tindak kriminal. Setiap hari nyaris selalu ada kasus pembunuhan.

 

Tetapi, lingkungan yang mencekam itu sama sekali tak menggoyahkan tujuannya. Aziz bahkan mengisi waktu penuh untuk hal-hal yang bermanfaat. Bekerja paro waktu di tiga tempat yang beda tiap hari.

 

“Masa-masa itu sungguh melatih kedisiplinan,” tandasnya. Perkuliahan pun tak terbengkalai. Aziz berhasil masuk kampus ternama: George Washington University. 

 

Ia mengambil jurusan D3 Supervisory Management. Lulus. Kuliah lagi di tempat yang sama mengambil jurusan D3 Business Management. Dan lulus dengan predikat Baik.

 

“Lanjut kuliah lagi ambil yang setara master di Georgetown University, masih di kota yang sama,” katanya. Aziz menghabiskan 15 tahun di AS hingga 2006. Setelah lulus, ia pulang ke tanah air.

 

Lantas bekerja di perusahaan lokal di Bali. Hanya satu tahun. Ada kesempatan yang lebih menjanjikan lagi. Ia mendapat tawaran kerja ke Dubai di bidang ekspor-impor.

 


Aziz bersama mantan Dubes AS Arifin Siregar (tengah) saat berada di AS.-Dokumentasi Aziz Ba'yaqub-

 

Aziz cukup lama di Kota Emas itu. Dari 2007 hingga 2019 akhir. Hampir 12 tahun. Ia beberapa kali pindah pekerjaan. Bahkan pernah menjadi staf Kedutaan Besar RI. “Di situ saya dapat banyak kesempatan keliling negara karena tugas kerja,” terangnya.

 

Tetapi, hanya beberapa tahun sebelum akhirnya memutuskan resign. Join mendirikan perusahaan agen perjalanan bersama pengusaha asal Pakistan. Di perusahaan inilah Aziz malah lebih sibuk lagi keliling benua. Tercatat sudah melayani para tamunya melancong ke 35 negara.

 

Ia bahkan tahu tempat-tempat mengagumkan yang tak banyak dikunjungi wisatawan di beberapa negara. "Di Turkmenistan, salah satu yang favorit adalah hole hell. Lahan bekas tambang batu bara terbesar yang masih memancarkan lautan api," tuturnya.

 

Juga di Uzbekistan, Samarkand, Istanbul, hingga negara-negara Eropa Timur yang jarang dijamah para traveler. Lamanya Aziz sebagai diaspora Indonesia tentu menjadi modal kuat.

 

Ia sudah biasa tinggal bersama orang-orang dengan latar belakang yang beda. Yang lebih beragam. Inilah yang makin menguatkan Aziz bermisi naik motor keliling dunia nanti. "Jadi hati saya sudah mantap. Modal mental ini sudah saya cicil sejak lama," ungkap bapak tiga anak itu. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: